Minggu, 20 September 2020

Batu Suli & Cerita Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang

 


Batu Suli merupakan objek wisata yang berlokasi di tepian Sungai Kahayan antara Desa Upon Batu dan Desa Tumbang Manange, Kecamatan Tewah Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah. Objek wisata ini menawarkan pemandangan indah dan mempesona, berbentuk batu besar yang menjulang tinggi di sungai Kahayan. Letaknya yang menjorok ke Sungai Kahayan seakan-akan batu ini jatuh ke sungai. Di sekitar objek wisata masih sangat alami, dengan pepohonan hutan yang tumbuh disekitarnya.

Di belakang Batu Suli ini sendiri ada sebuah bukit yang cukup tinggi yang tebingnya juga menjorok ke arah sungai, namanya Puruk Tamanggung Amai Rawang atau lebih singkatnya sering disebut Puruk Amai Rawang, diambil dari kata Puruk yang artinya Puncak Gunung/Bukit, dan nama Amai Rawang sendiri diambil dari seorang Tamanggung (sekarang lebih disebut Damang/Kepala Desa), bergelar Tamanggung Amai Rawang. Desa Upon Batu ini sendiri berada tepat di bawah bukit dan berdampingan dengan Batu Suli. Di atas puncak Amai Rawang ini sendiri terdapat sisa-sisa peninggalan budaya (Benda Cagar Budaya), salah satunya yakni Batu Antang.

Baik Batu Suli ataupun Puruk Amai Rawang memiliki cerita legendanya masing-masing.

1. Batu Suli
Legenda Batu Suli dipercayai oleh masyarakat Dayak Ngaju dan Ot Danum benar-benar pernah terjadi. Menurut cerita orang-orang tua, dahulu kala sebuah tebing batu yang disebut batu Suli pernah roboh sehingga menutup hubungan lalu-lintas ikan dari Kahayan Hulu ke Kahayan Hilir. Kejadian ini sungguh tidak mengenakan bagi bangsa Ikan, dahulu mereka mempunyai kekerabatan dan sanak saudara di Kahayan Hulu atau sebaliknya di Kahayan Hilir. Lama kelamaan keadaan itu tidak tertahankan lagi bagi bangsa Ikan, meraka merasa seperti terpenjara akibat putusnya aliran sungai Kahayan itu. Mereka benar-benar tersiksa aikbat peristiwa tebing longsor itu. Masalah besar bangsa ikan itu harus dicarikan pemecahannya. Untuk menanggulanginya, kemudian para ikan berkumpul dan mengadakan musyawarah besar di Sungai Kahayan. Musyawarah besar bangsa ikan itu akhirnya menghasilkan keputusan yaitu untuk menegakkan kembali tebing yang telah roboh itu. Akhirnya pada hari yang telah disepakati ribuan bangsa ikan berkumpul untuk bersama-sama menegakkan tebing yang menghambat sungai Kahayan itu. Ikan tapa sesuai dengan hasi musyawarah ditunjuk sebagai mandor. Pekerjaannya mengharuskan ia terus-menerus berteriak-teriak secara lantang agar semangat para pekerja bangsa ikan itu selalu tinggi. Sementra ikan pipih sesuai hasil musyawarah juga diberi tugas untuk memanggul tebing yang roboh itu di atas punggungnya yang pipih. Begitulah kerja keras bangsa ikan itu pun berlangsung sampai berhari-hari lamanya. Ahirnya berkat usaha keras segenap bangsa ikan itu, tebing Batu Suli dapat ditegakkan kembali seperti sediakala. Tentu saja hasil keras itu disambut dengan rasa bahagian oleh segenap bangsa ikan. Perasaan terpenjara sekian lama akhirnya bisa bebas lagi, dan bangsa ikan pun dapat kembali saling berhubungan antara di Kahayan hilir dan Kahayan hulu. Namun, rupanya hasil keras itu harus ditebus mahal oleh bangsa ikan yang terlibat dalam pekerjaan besar itu. Setiap ikan yang turut mengambil bagian dalam pekerjaan itu, harus menanggung akibat pekerjaan besar itu. Sebagai contohnya, keturunan ikan tapa, misalnya, karena kakeknya dahulu terlalu banyak membuka mulut untuk berteriak-teriak dalam tugasnya sebagai mandor, maka kini semua anak keturunannya memiliki mulut yang berukuran besar. Sementara keturunan ikan pipih, karena kakeknya harus memanggul tebing yang sangat berat itu, punggungnya bungkuk dan tulangnya hancur. Maka kini semua keturunan ikan pipih mempunyai punggung yang bungkuk dan tulangnya yang halus-halus.
Begitu cerita mengenai Batu Suli


2. Tamanggung Amai Rawang
Legenda Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang, merupakan legenda di Desa Upun Batu atau Tumbang Manange di hulu Kahayan yang menceritakan berdirinya Kuta atau Benteng diatas Batu Suli Puruk Tamanggung.
Diceritakan, pada suatu hari, disaat semua orang di Desa Upun Batu atau Tumbang Manange sedang berada di ladang karena pada saat itu memang sedang musim panen, tanpa disangka datanglah segerombolan Kayau dari suku Ot menyerang desa tersebut.
Disaat serangan terjadi, yang ada hanyalah beberapa orang kaum perempuan yang sedang mencuci pakaian dipinggir sungai Kahayan. Salah satunya adalah Nyai Inai Rawang istri dari Toendan yang bergelar Tamanggung Amai Rawang.
Akibat serangan tersebut, banyak yang mati, terluka maupun melarikan diri. Disaat Tamanggung Amai Rawang beserta adiknya Tewek yang bergelar Singa Puai pulang dari ladang, terkejutlah mereka melihat keadaan yang telah terjadi.
Maka disuruhnyalah Singa Puai untuk memanggil kembali kakak mereka yang tertua yang bernama Ucek beserta semua orang yang sedang bekerja diladang untuk mengadakan pembalasan.
Namun malang, ternyata gerombolan Kayau tersebut setelah menyerang kaum perempuan yang ada di Desa Upun Batu atau Tumbang Manange, mereka juga datang menyerang orang-orang yang sedang bekerja diladang, sehingga banyak mati dan terluka parah.
Dan sebelum gerombolan Kayau tersebut pulang, mereka sempat berpesan bahwa dalam tempo tujuh hari lagi mereka datang kembali.
Bila warga desa Upun Batu atau Tumbang Manange ingin selamat, mereka harus menyerahkan harta kekayaan mereka dan rela dijadikan budak.Namun bila mereka tidak mau menyerahkan harta benda, maka mereka akan dibunuh semuanya. Sebagai tanda ancaman tersebut, tertancaplah sebuah Sampalak, yaitu tanda bahwa daerah tersebut akan diserang atau di Kayau.
Kini tinggallah Tamanggung Amai Rawang beserta saudara-saudaranya dan segelintir warga desa yang tersisa, duduk termenung memikirkan bencana yang baru saja menimpa mereka. Ingin mengadakan pembalasan, apa daya kekuatan sudah tidak ada lagi.
Sehingga akhirnya muncullah ide untuk Manajah Antang, yaitu upacara memanggil burung Elang yang diyakini sebagai wujud penjelmaan dari para Antang Patahu, yaitu roh-roh leluhur yang bertugas sebagai dayang penunggu wilayah untuk meminta petunjuk dan pertolongan.
Tidak beberapa lama, upacara Manajah Antang pun dilakukan. Berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh para Antang Patahu, bahwa Tamanggung Amai Rawang haruslah mendirikan kuta ataupun benteng diatas bukit batu yang terletak di tengah sungai, berseberangan dengan desa Upun Batu atau Tumbang Manange.
Apabila musuh datang dari arah matahari terbenam, maka mereka harus lari, sebab menandakan mereka akan kalah. Namun bila musuh datang dari arah matahari terbit, itu berarti mereka akan menang.
Dan Tamanggung Amai Rawang tidak boleh mencabut senjata mandaunya untuk menghalau musuh. Ia cukup duduk diatas gong sambil menonton apa yang terjadi, sebab para Antang Patahulah yang akan berperang baginya.
Ternyata, pada hari yang telah ditentukan, datanglah gerombolan Kayau untuk menyerang kembali Desa Upun Batu atau Tumbang Manange. Mereka datang dari arah matahari terbit dengan tampang yang ganas.
Namun sebelum mereka dapat menyentuh Tamanggung Amai Rawang, mereka sudah berjatuhan karena diserang oleh para Antang Patahu. Gerombolan Kayau tersebut takluk dan bersedia menjadi pengikut dari Tamanggung Amai Rawang.
Desa Upun Batu atau Tumbang Manange, akhirnya menjadi aman tentram kembali seperti dahulu kala berkat pertolongan para Antang Patahu yang adalah pengejawantahan dari pertolongan Tuhan Yang Maha Esa sebagai wujud jawaban dari upacara Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang.**

3. Objek Wisata Alam dan Budaya
Batu Suli menawarkan keindahan yang sangat luar biasa, ada dua cara untuk menikmati keindahannya;
Pertama, dengan menaiki  bukit bebatuan itu dengan menempuh waktu antara 20-30 menit. Ketika telah tiba di puncak bukit bebatuan, maka mata pengunjung akan dimanjakan panorama indah Sungai Kahayan serta alam Kalimantan Tengah yang segar dan hijau. selain itu ada spot-spot yang akan ditemui di saat kita melakukan perjalanan ke Puruk Amai Rawang selain merupakan objek Wisata Alam, juga merupakan objek Wisata Budaya karena ada beberapa benda Cagar Budaya yang dapat kita jumpai. Ada beberapa peninggalan dari Tamanggung Amai Rawang yang dapat ditemukan ketika sampai di Puncak, yang pertama yakni Batu Antang, yaitu Batu tempat di mana Tamanggung Amai Rawang melakukan Ritual Manajah Antang (Ritual Memanggil Roh Leluhur). Pada sisi dalam Batu Antang terdapat sebuah celah yang konon barangsiapa yang dapat melewati celah itu dia akan panjang umur dan rejekinya dimudahkan. Kemudian Kubur Inai Rawang yaitu Istri dari Tamanggung Amai Rawang, kalau Kubur dari Tamanggung Amai Rawang sendiri masih belum dipastikan lokasinya. Beberapa jihi (tiang) dari Rumah Betang, karena dulu di puncak bukit ini pernah berdiri sebuah Rumah Betang. Ada juga salah satu tiang yang diberi tanda keramat (berupa kain kuning). Batu Tingkes (ini beda dengan Batu Tingkes di Bukit Batu Kasongan), ini terdiri dari kumpulan batu yang tersusun dari yang terkecil hingga yang terbesar. Mitos dari batu-batu ini konon siapapun yang bisa mengangkat batu yang paling besar, rejekinya pun juga besar. Yang mengangkat batu yang kecil, rejekinya pun kecil.
Kemudian ada beberapa Pasah Patahu, lalu sebuah Telaga yang disebut juga dengan Telaga Bawin Kameloh (sayangnya lupa moto). Apabila kita menyusuri jalan setapak di sekitaran Batu Antang akan ada berbagai pepohonan bambu (lebih tepatnya hutan bambu). Hingga tiba di ujung perjalanan, yaitu tepian jurang dengan sebuah rumah singgah kecil.
Kedua, Bagi yang tidak berani naik ke Atas, sudah cukup memandang keindahan Batu Suli dari bawah untuk melihat bukit bebatuan bak raksasa yang tinggi berdiri di antara hijaunya alam. atau menggunakan perahu/Kelotok menyisiri dari sungai Bila dilihat dari kejauhan Batu Suli bagaikan dinding raksasa perkasa yang berdiri tegak menjulang, sementara kakinya bermain di riak air yang deras.

Situs Batu Suli memiliki tinggi sekitar 476 MDPL dan perkiraan jarak 200 kilometer dari Kota Palangka Raya. Bentuk situs Batu Suli juga tergolong unik, seperti roti yang dibelah pisau dan dibagi dua.

Obyek wisata Batu Suli berjarak sekitar 200 km dari kota Palangka Raya. Anda dapat menggunakan transportasi darat menuju ke Desa Tumbang Manange yang memerlukan waktu sekitar lima jam perjalanan. Atau bisa juga menggunakan perahu kelotok menyusuri Sungai Kahayan dari Pelabuhan Tewah dengan waktu tempuh sekitar dua jam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

  Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup ...