Kamis, 20 Maret 2014

Kutukan di Dusun Dahian Undang

 
Akhirnya keluarga masing-masing kedua ayah anak itu saling berhadapan dan berkelahi dengan serunya. Keadaan menjadi semakin ramai karena teman-teman setiap keluarga turut membantu dan jadilah perkelahian ini menjadi perkelahian antara dua kelompok

Lebih dari tiga ratus tahun yang lalu di tepi sungai Katingan terletaklah dusun Dahian Undang. Suatu ketika kemarau panjang melanda sungai Katingan ini, sungai-sungai kecil dan bendar-bendar yang terletak di antara pepohonan sudah mengering. Di beberapa tempat di perairan sungai Katingan gosong bermunculan dan sungai dapat diseberangi hanya dengan berjalan kaki, sebab airnya hanya tenggelam setengah betis saja.
Di suatu senja hari penduduk Dahian Undang seluruhnya meluruk menonton suatu keadaan di seberang sungai atau tempat kediaman mereka itu. Sekitar lebih dari tiga puluh ekor orang hutan berada di tepi sungai, nampaknya mereka ingin minum. Hal seperti ini biasa selalu terjadi di mana kawanan satwa berbondong-bondong ke tepi sungai mencari air, apalagi dalam musim kering seperti ini.
Tetapi kali ini setelah minum sepuas-puasnya, orang hutan-orang hutan itu tidak segera kembali ke dalam rimba. Mereka bermain perang-perangan dengan saling melontarkan tombak dari batang tumbuhan bamban (sejenis tumbuhan rawa yang berba-tang lurus, kulitnya luarnya licin; biasa kulit luar yang licin ini diambil, dikeringkan dan dianyam menjadi bakul untuk mencuci beras), layaknya seperti yang dilakukan manusia dalam upacara laluhan (perahu yang mengantarkan bantuan bahan makanan dan sebagainya dari suatu desa untuk upacara tiwah di sebuah desa; desa yang dibantu menyambut kedatangan bantuan dengan acara menombaki perahu itu dan saling berbalasan). Perbuatan mereka itu sangat lucu karena gerakannya sangat menggelikan, hingga anak-anak senang melihatnya.
Memang di seberang dusun itu banyak tumbuh batang bamban. Biasanya warga memotongnya dahulu kemudian menjemurnya di atas pasir gosong sungai, lalu beberapa hari kemudian mengambilnya setelah agak kering.
Bamban yang sudah terpotong inilah yang digunakan orang hutan itu sebagai tombak. Esok harinya kembali orang hutan-orang hutan itu datang ke tepi sungai untuk minum dan bermain-main. Orang banyak sedusun, di tepi sungai seberang sini, tua muda besar kecil lelaki maupun perempuan, berkerumun untuk menyaksikan perbuatan orang hutan-orang hutan tersebut. Setelah semuanya minum, nampaknya mereka mau bermain-main lagi seperti kemarin. Tombak batang bamban mulai meluncur saling berbalas.
Namun mendadak terjadi perubahan. Jerit kegembiraan mereka berubah menjadi kegusaran, yang dilanjutkan dengan saling gigit dan terkam di antara mereka. Terjadilah perkelahian antara dua kelompok yang berlangsung semakin seru.
Sebagian mulai berjatuhan tewas akibat gigitan dan rangkulan yang meremukkan tulang. Akhirnya tinggal dua ekor yang terbesar saling berhadapan, yang kesudahannya sama-sama rebah terkapar berlumuran darah. Mayat mereka bergelimpangan di atas gosong tepi sungai. Penduduk Dahian Undang yang menonton, sempat ternganga melihat kejadian itu. Selanjutnya mereka lalu beramai-ramai menyeberang untuk mengetahui apa penyebabnya.
Ternyata semua yang tewas itu berkelamin jantan, tidak terdapat betina dan anak-anak. Dan ketika diteliti ternyata di antara tombak-tombak batang bamban itu terdapat beberapa batang yang benar-benar tombak, dengan ujungnya dari besi yang tajam dan mematikan. Seorang di antara para pemuda penduduk dusun Dahian Undang itu mengaku bahwa dia telah meletakkan beberapa batang tombak yang benar di antara rumpun-rumpun bamban tersebut sebelumnya.
“Sengaja kuletakkan beberapa batang tombak milik kami di tempat mereka mengambil batang bamban. Maksudku hanyalah agar pertempuran pura-pura itu menjadi lebih seru. Lagi pula mata tombak kami ujungnya dapat tercuci dengan darah sebab mulai karatan”, ujar Parek mengaku. Orang banyak tertegun mendengar penjelasannya.
Malam harinya pemuda usil itu bermimpi. Ia dijumpai seorang lelaki tua gundul, yang mendekatinya lalu berkata : “Kami tidak pernah mengganggu kehidupan kalian di dusun seberang. Perbuatan kami hanya untuk bersenang-senang melupakan kesulitan hidup menghadapi kemarau panjang ini. Sampai hatimu menyelipkan tombak yang benar di antara batang bamban itu, hingga kami terluka dan berkelahi sesama kami. Seluruh orang hutan dewasa di kelompok kami telah mati ulah perbuatanmu. Kalian kelak akan mengalami hal yang sama seperti yang kami alami siang tadi !”
Sehabis ucapan orang tua itu Parek terbangun karena suara guntur yang menggemuruh disertai tiupan angin kencang. Parek duduk termenung memikirkan mimpinya itu hingga malam menjelang siang.
Pagi harinya Parek menceriterakan mimpinya itu pada teman-temannya. Beberapa orang tua yang kebetulan hadir tertarik mendengarnya dan ingin merundingkannya lebih lanjut guna membahas cara menghadapi kutukan itu.
Tetapi ayah Parek, pemuda usilan itu, malah menghardik anaknya dan nampak tak mau bertanggung jawab. Ia lalu berkata : “Engkau keterlaluan, sudah kau kacaukan permainan orang hutan menjadi ajang kematian mereka. Sekarang kau ingin mengajak orang sedusun untuk berpesta menolak bala. Hai sekalian warga jangan pedulikan ocehannya !”
Musim kemarau telah berlalu, peristiwa itu terlupakan dengan tidak terlihatnya tanda-tanda adanya kesulitan. Panen menjadi (berhasil) dilanjutkan dengan musim durian yang lebat. Warga dusun Dahian Undang itu bersatu kata bulat mufakat untuk melaksanakan hajat mengadakan pesta syukur kepada Sangiang – Jata (nama penguasa alam atas dan alam bawah) yang telah memberkahi mereka dengan hasil panen yang melimpah. Upacara balian sahur dilaksanakan selama tiga hari tiga malam, tujuh tetuha memukul gendang sambil melantunkan nyanyian hikmat mengenai perjalanan para dewa.
Selesai upacara dilanjutkan dengan minum-minum baram (sejenis tuak) tanpa pandang bulu dan jenis kelamin. Sulang menyulang antara lelaki dan wanita dengan kapasitas paling tidak seorang menghabiskan isi sepasang tanduk kerbau.
Sedangkan bocah-bocah berusia di bawah belasan tahun lain pula ulahnya. Ada yang bermain gasing, balogo (kepingan tempurung kelapa) dan mengadu jangkerik.
Mendadak di kelompok anak-anak yang mengadu jangkerik gempar. Seorang bocah keluar dari kerumunan seraya menangis tersedu-sedu dengan jari telunjuknya berdarah.
“Jari telunjuk Tengang digigit jangkeriknya Buhis”, kata seorang anak menjelaskan kepada kelompok yang berdatangan ingin tahu.
Namun ada lagi yang menambahkan dengan tujuan agar lebih ramai saja yakni : “Buhis menggigit jari telunjuk Tengang hingga hampir putus”.
Tengang masih saja menangis dan malah semakin keras. Di antara anak-anak itu ada yang usil mendengarnya, sebab itu ia lalu berteriak berkali-kali dengan kata-kata yang berlebihan : “Buhis menggigit telunjuk Tengang sampai putus !”
Saat itu kebetulan ayah Tengang keluar dari betang hendak buang air kecil. Terdengar olehnya, yang dalam keadaan mabuk itu, suara teriakan-teriakan itu. Dikiranya hal ini benar-benar terjadi. Setelah melaksanakan hajatnya segera ia mendekati kelompok anak-anak itu. Di waktu yang bersamaan ia berpapasan dengan Buhis yang keluar dari kelompok itu ingin menjauh.
Tanpa ba bu lagi Buhis lalu ditamparnya dan ditendangnya berkali-kali tanpa kasihan. Buhis menjerit kesakitan dan akhirnya jatuh pingsan.
Ayah Buhis yang juga mabuk, keluar dan sempat melihat kejadian itu. Ia mendekati ayah Tengang seraya berkata : “Apa sebabnya kau menyakiti anakku ?”
“Anakmu sudah menggigit putus jari anakku !” jawab ayah Tengang ketus.
“Keterlaluan kau pahari (saudara), beraninya hanya dengan anak kecil. Kalau sampai anakku mencederai anakmu, masih ada penyelesaiannya dengan baik”, kata ayah Buhis lagi.
Seorang adik ayah Buhis dengan garang berkata : “Jangan banyak bicara lagi. Labrak saja ! Anakmu sudah pingsan dibuatnya”.
Akhirnya keluarga masing-masing kedua ayah anak itu saling berhadapan dan berkelahi dengan serunya. Keadaan menjadi semakin ramai karena teman-teman setiap keluarga turut membantu dan jadilah perkelahian ini menjadi perkelahian antara dua kelompok. Beberapa orang yang datang dengan niat untuk melerai perkelahian itu, menjadi terlibat dalam perkelahian, karena disangka datang untuk membantu salah satu pihak.
Perkelahian tangan kosong akhirnya meningkat menjadi perkelahian bersenjata. Badik, mandau, duhung, tombak sampai serapang penusuk ikan sungai dan alu penumbuk padi dimainkan kedua belah pihak. Jeritan anak-anak dan kaum wanita bercampur dengan pekik kemarahan dan kesakitan dari mereka-mereka yang sedang mengamuk. Mereka berkelahi bagaikan kesetanan, saling kejar dan jika terjatuh pasti dicencang lumat.
Beberapa jam kemudian perkelahian berhenti dengan sendirinya, tidak ada lagi yang sanggup meneruskannya. Semua lelaki sudah bergelimpangan di sana sini dalam keadaan tidak bernyawa, sedang sekarat atau terluka parah.
Tangisan kehilangan bergema di udara senja dari wanita kematian suami, ibu kematian anak dan gadis kematian kekasihnya. Suara gandang (gendang) dan garantung (gong) beberapa hari sebelumnya, yang mengiringi suasana kegembiraan, berubah menjadi irama yang mengiringi penjemputan oleh sakaratul maut dan kepergian roh-roh.
Penduduk desa yang berdekatan lalu berdatangan untuk menyatakan bela sungkawa dan membantu merawat yang terluka parah serta menguburkan yang tiada bernyawa. Awan duka menyelimuti dusun itu.
Sejak itu dusun Dahian Undang ditinggalkan penghuninya yang masih hidup, terutama wanita dan anak-anak, menyebar ke desa-desa sekitarnya serta kampung-kampung lain yang terikat hubungan keluarga. Diperkirakan dusun ini dahulu tidak jauh letaknya dari desa Dahian Tunggal sekarang, termasuk dalam wilayah kecamatan Pulau Malan.
Nama Dahian Undang sendiri berasal dari kata Dahian yang artinya durian (buah duren), sedangkan Undang adalah nama jenis buah durian yang sangat enak, tebal daging buahnya serta manis. ***

Senin, 10 Maret 2014

Habukung Dalam Upacara Kematian

Bukung
Dalam suatu upacara kematian di beberapa daerah yang ada di kalimantan Tengah, ada dikenal suatu acara yang disebut dengan Habukung. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh agama Hindu Kaharingan mengenai latar belakang diadakannya Upacara Ritual Habukung yaitu berawal dari suatu legenda pada zaman dahulu kala pada sebuah dusun atau pemukiman yang terdiri dari 7 (tujuh) buah rumah, terjadilah suatu peristiwa yang menimpa seorang pemuda dusun tersebut yang baru saja membina rumah tangga kurang lebih berjalan 1 (satu) tahun. Pada hari itu terjadilah suatu musibah yang tidak disangka-sangka, istrinya yang sedang menggandung sekitar 7 bulan , tiba-tiba meninggal dunia. Karena istrinya meninggal dunia tersebut, sang suami sangat bersedih sekali dan selalu menangis sambil memeluk mayat istrinya. Dan selama itu juga sang suami tidak mau makan dan berbicara dengan siapa pun. Orang tua dan pihak keluarga pemuda tersebut selalu berupaya untuk menesehati pemuda tersebut agar mayat istrinya segera dimakamkan, tetapi tidak ada jawaban yang keluar dari mulut pemuda tersebut dan ia pun tetap berbaring sambil memeluk mayat istrinya.

Pihak keluarga mulai gelisah guna mencari jalan keluar untuk membujuk sang pemuda tersebut agar mau memakamkan istrinya, dan kurang lebih berjalan 15 (lima belas) hari, pada suatu malam ayah sang pemuda bermimpi bertemu seseorang dan orang tersebut berkata kami akan menolong bapak untuk menghibur anak bapak yang ditinggalkan istrinya dengan cara berangsur – angsur dan beritahu kepada penduduk lainnya jangat takut atas kedatangan kami yang aneh-aneh. Setelah terbangun pada pagi harinya, maka sang ayah segera bangun untuk memberitahukan mimpi tersebut kepada warga setempat.

Pada malam harinya sekitar pukul 21.00, terdengarlah suara gemuruh dan derap-derap kaki dan diselingi suara musik gong dan lainya, kemudian muncullah orang banyak sekali memakai suatu topeng yang terbuat dari kayu Palawi. Topeng inilah yang disebut dengan Bukung. Sambil membunyikan alat-alat musik dan disertai dengan berbagai macam tarian sambil membunyikan bamboo yang dibuat sedemikian rupa yang disebut dengan “Selekap”. Tarian tersebut dibuat dengan gaya yang lucu-lucu sehingga membuat orang yang melihat terhibur dan tertawa-tawa.

Begitulah bukung tersebut datang setiap malam, sehingga sang pemuda yang istrinya meninggal tersebut berangsur-angsur membaik sudah mau makan dan berbicara dengan orang lain.

Bukung – bukung itu datang setiap malam sambil membawa uang, barang- barang lainya yang akan disumbangkan kepada keluarga yang mengalami musibah menginggal dunia tersebut. Hal ini berlangsung selama beberapa malam, sehingga bermacam-macam bentuk dan pakaian yang dipakai serta sda yang membungkus dirinya dengan rumput, daun pisang dan lain-lain. Selama beberapa malan tersebut setelah adanya bukung tersebut, maka banyak sekali barang-barang sumbangan yang diberikan menumpuk seperti beras, gula, kopi, ayam, babi dan lainnya.

Selanjutnya pada suatu malam pihak keluarga sang pemuda memyampaikan kepada pemuda yang istrinya meninggal dunia rencana untuk memakamkan istrinya. Hasilnya sang suami setuju untuk memakamkan istrinya sampai pada ketentuan bahwa keluarga harus menyiapkan biaya untuk pelaksanaan penguburan dengan bantuan bukung tadi (biaya yang sudah ada). Menyelang hari pelaksanaan pemakaman bukung berjalan terus tiap malam tanpa henti. Tepat pada hari pemakaman, bukung terus diadakan sampai peti jenasah (raung) dibawa ke liang lahat (dikuburkan). Dan bukung yang terakhir ikut mengangkat dan membawa peti jenasah ke kuburan, bukung yang ikut mengangkat peti jenasah tersebut yaitu bukung kinyak atau bukung belang.****

Rabu, 05 Maret 2014

Sumpah Setia (Dayak Ngaju)

Berani bersumpah untuk menyatakan kesetiaan berarti berani menanggung resiko apabila mengingkari sumpah yang telah diucapkan. Apabila ia tidak setia kepada sumpahnya, maka ia berani tanggung resiko bagai rotan yang terpotong, yang berarti nyawanya pun akan terpotong, siap sewaktu-waktu nyawa terputus dari badan. Demikian makna dan resiko sumpah setia bagi suku Dayak.

Sumpah setia yang dilakukan oleh suku Dayak kepada pemimpin mereka, biasanya diadakan dengan saling menukar darah yang biasa disebut hakinan daha hasapan belum, yang kemudian pada pergelangan tangan diikatkan lamiang atau lilis. Setelah itu memotong rotan, menaburkan beras kuning, menabur abu, garam, Kemudian ibu jari tangan kanan dilukai sedikit hingga mengeluarkan darah. Upacara ini dilaksanakan sebelum pukul 12.00 siang hari. Disini makna darah manusia yang menetes keluar dari ibu jari kanan merupakan lambang bakti yang setinggi-tingginya.

Persyaratan yang diperlukan :
  • Rotan
  • Beras
  • Abu Dapur
  • Garam
  • Parang atau sejenis pisau berukuran besar sebagai alat pemotong
  • Kayu persegi atau bulat untuk alas pemotong rotan
  • Kunir
  • Minyak kelapa
Cara pelaksanaannya :

Sebelum seseorang menyatakan sumpahnya, terlebih dahulu ia berdiri ke arah matahari terbit, yaitu Timur. Petugas pelaksana akan menaburkan beras ke segala arah, dengan maksud agar Penguasa Alam, Hatalla Raja Tuntung Matanandau Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan yang tinggal di langit ketujuh, berkenan mendengarkan janji atau sumpah yang akan diucapkan. Setelah itu, yang bersumpah berbalik arah menghadap matahari terbenam dan pelaksana upacara menaburkan abu, garam, dan beras di belakang orang yang bersumpah. Apabila dia yang bersumpah tidak berkata benar, maka sebagai abu yang terbang berhamburan di bawa angin, begitu pula kehidupannya nantinya akan sia-sia dan terkutuk, hancur seperti garam yang terbang dan menguap.

Setelah itu, dia yang disumpah berbalik arah lagi menghadap matahari terbit, kemudian petugas penyumpahan dan dia yang disumpah mengambil posisi duduk, tangan keduanya memegang rotan sebelah menyebelah. Sebelum rotan di potong, dia yang disumpah harus berani mengatakan:

Apabila ia tidak setia kepada sumpahnya, maka ia berani tanggung resiko bagai rotan yang terpotong, yang berarti nyawanya pun akan terpotong, siap sewaktu-waktu nyawa terputus dari badan. Pada saat upacara berlangsung, para pemimpin lain dan masyarakat yang menghadiri upacara sebagai saksi juga berdiri berhadapan dengan orang-orang yang bersumpah, untuk berpartisipasi sebagai saksi.

Dengan perantaraan roh beras yang ditabur-taburkan dan yang berada di langit ke tujuh, memohon untuk menyampaikan pesan manusia kepada Ranying Hatalla untuk meyaksikan sumpah yang sedang berlangsung.

Apabila dia yang bersumpah tidak setia, tidak jujur dan hanya berpura-pura, maka, bagaikan abu, hidupnya terbang ditiup angin, akan hancur seperti garam, dan nafasnya akan terputus bagai rotan yang terpotong. Akan tetapi apabila orang yang bersumpah setia, rajin dan jujur untuk selamanya, maka ia akan mendapat untung panjang, hidup senang, umur panjang, dapat berkat dan banyak rezeki.

Sumber : www.nila-riwut.com

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

  Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup ...