Manen, Pembuat Banama Sungkai
Oleh : Abdul Fattah Nahan
Manen
adalah putera bungsu dari tamanggung (gelar
kebesaran bagi pemimpin suku atau sebuah betang) Baya, yang ketika hidupnya adalah
seorang pemimpin sebuah desa di daerah sungai Kahayan. Keenam saudara
Manen yang lainnya baik lelaki mau pun perempuan semuanya telah berkeluarga.
Tinggal ia seorang diri yang belum, padahal banyak gadis-gadis di desanya yang
tertarik padanya.
Selain tampan, Manen seorang pemuda
yang rajin bekerja. Waktunya tidak pernah lowong, tidak mau ia duduk-duduk
mengobrol atau membual sambil minum-minum tuak seperti pemuda desa lainnya.
Kalau tidak pergi ke ladang, pastilah ia manasal
(menempa besi) membuat parang, mandau
(senjata tradisional suku Dayak, sejenis parang), tombak dan
peralatan dari besi lainnya.
Sudah menjadi kebiasaannya api
bekasnya bekerja menempa besi itu tidak dimatikannya. Puntung-puntung yang
membara itu hanya ditutupi dengan abu, sehingga esok harinya mudah ia
menyalakannya kembali untuk bekerja. Beberapa hari ini api yang ditutupinya itu
selalu padam dengan sisa puntung-puntungnya yang berserakan. Manen jadi merasa
terganggu, ulah siapa yang mengusik apinya untuk bekerja itu ?
Suatu malam ia mengintai penyebab
semua itu. Ketika waktu telah merambat melewati tengah malam dan hawa semakin
dingin, dari arah tepi sungai muncullah seorang wanita yang amat cantik. Wanita
itu mendekati tumpukan api Manen yang tertutup abu, membongkarnya dan menyusun
puntung-puntung yang ada hingga api menyala kembali. Badannya menggigil, nampaknya ia kedinginan,
kedua tangannya dipanaskan di atas api.
Tak peduli ia pada keadaan sekitarnya.
Menjelang pagi,
puntung-puntung telah habis terbakar dan berserakan. Ia bangkit berdiri
dan beranjak pergi. Saat itulah Manen
lalu mendekapnya dari belakang. Mereka bergulat dengan seru, wanita itu
berontak namun akhirnya melemah karena Manen sangat kuat. Ini disebabkan ia
seorang yang setiap hari bekerja keras, hingga tenaganya pun luar biasa.
“Rupanya kaulah orangnya yang merusak
apiku selama beberapa hari ini. Sebagai penebus kesalahanmu itu kau harus ikut
aku, sebagai pendamping hidupku”, kata
Manen kepada wanita itu.
“Lepaskanlah aku. Tidak mungkin kita
dapat hidup bersama karena aku makhluk dalam air, anak bungsu dari Jata (penguasa
alam bawah, dalam air sungai dan lautan).
Mustahil aku dapat tinggal di muka bumi ini,” jawab wanita itu.
Tiba-tiba terdengar suara
menggelantung di udara dari arah sungai
: “Anakku, mungkin pemuda inilah jodohmu. Aku tahu selain mempunyai utus (keturunan),
ia seorang yang gagah berani, berbudi baik dan setia. Engkau sendiri agak
kurang cocok hidup dalam air, sehingga sampai naik ke darat mencari api untuk
berdiang. Ayah restui hubungan kalian berdua.”
Semburat sinar matahari pagi menyinari
mereka berdua yang berbimbingan tangan pulang ke rumah Manen. Orang sekampung
gempar karena Manen pagi-pagi sekali sudah jalan-jalan berduaan dengan seorang
wanita yang tidak tertandingi kecantikannya.
Manen menemui ibunya dan
menceriterakan semua peristiwa itu serta memohon restunya untuk mengawini Bawin Jata (anak perempuan Jata,
penguasa dalam air mahluk super natural) tersebut. Ibu yang arif serta sangat menyayangi Manen
itu langsung segera menyetujuinya. Semua saudara Manen sangat menentang niat
Manen itu, anggapan mereka Bawin Jata itu hanyalah taluh penda danum (hantu
atau roh yang hidup dalam air).
Akhirnya perkawinan antara Bawin Jata
dan Manen pun berlangsung, semua yang hadir kagum melihat pasangan itu yang
sangat serasi. Pengantin lelakinya tampan sedang pengantin wanitanya bagaikan
bidadari. Beberapa tahun berlalu
dengan tenteram hingga terjadi
peristiwa yang susul menyusul menimpa desa itu. Setiap wanita hamil tua atau
yang habis melahirkan dan bayi-bayi, pasti mendapat sakit kejang-kejang lalu
meninggal dunia.
Wanita-wanita yang pernah menaruh hati
pada Manen dahulu dan walau pun Manen sekarang sudah berkeluarga dengan empat
orang puteranya, masih menaruh hati, mendapat kesempatan untuk membalas
perbuatan Manen yang menolak cinta mereka dahulu dengan adanya peristiwa
kematian beruntun ini. Salah seorang di antara mereka itu yang sedang hamil tua
berpura-pura kemasukan, yang lalu dengan wajah
ketakutan berteriak-teriak :
“Bawin Jata ! Bawin Jata !”
Semua yang mendengarnya lalu
menanggapi bahwa penyebab seluruh kematian selama ini adalah akibat perbuatan
Bawin Jata, isteri Manen yang tidak tentu asal usulnya yang pasti seorang hantimang (kuyang, palasik, manusia berilmu hitam yang
bagian kepalanya terbang mencari mangsa waktu malam hari). Akibatnya sangatlah fatal, orang sekampung
mendatangi rumah Manen ingin mengamuk. Untung kepala desa dapat mencegahnya
serta menenangkan mereka.
Manen lalu berkata : “Para
warga sekalian. Coba kalian pikir, kematian paling baru terjadi pagi ini. Paman Sangen yang tinggal serumah
dengan kami melihat, pada saat yang sama itu isteriku sedang menyusui anak kami
yang bungsu sambil memasak. Bagaimana dapat ia membagi dirinya untuk mendatangi
rumah orang yang baru melahirkan itu ?
Wajarkah kata-kata orang yang kerasukan dijadikan pegangan ?”
Paman Manen yang
bernama Sangen serta kepala desa terdiam sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Orang-orang yang ingin
mengamuk itu mundur dan menghilang satu persatu tanpa mengucapkan sepatah kata.
Manen sedih atas nasib
isteri berikut keluarganya yang terkena fitnah itu. Ia sangat yakin isterinya tidak bersalah dan
bukan seorang mahluk jadi-jadian yang jahat. Manen lalu mengajak keluarganya pindah, menjauhkan diri dari kampungnya itu.
Mereka lalu tinggal
jauh di belakang desa
dekat tepi danau Lewu
yang sekarang dinamakan
kaleka (bekas pemukiman) Labehu Bunter. Sambil
berladang Manen membuat sebuah banama
(perahu besar) dari kayu sungkai.
Lima tahun lamanya banama itu serta tatas
(rintisan jalan) untuk jalan ke
luarnya banama nanti menuju sungai Kahayan, dikerjakan oleh Manen seorang diri.
Setelah siap semuanya, maka
barang-barang dan keluarganya serta semua ternaknya lalu dimuatkan ke dalam
banama itu. Manen memang telah mempunyai rencana pergi jauh meninggalkan
kampung halamannya. Ia telah memutuskan untuk lebih mencintai keluarganya
sendiri dari pada segenap saudara dan babuhannya
(keluarga, kerabat) yang nampak tidak
mengacuhkannya lagi sebab termakan fitnah tersebut.
Pada suatu malam di
bulan purnama, banama itu ke luar lewat tatas yang dibuatnya menuju sungai
Kahayan lalu menghilir ke arah muara. Sesudah dua puluh hari terkatung-katung
di laut, akhirnya menjelang fajar terlihatlah daratan sebuah pulau yang
nampaknya berpenghuni. Ayam jantan Manen lalu berkokok ketika banama itu
menyentuh bibir pantai.
Manen dan ketiga anak lelakinya
meloncat turun dan menjejakkan kakinya ke pasir pantai. Manen
menggerak-gerakkan tubuhnya agar lemas karena hampir sebulan duduk memegang
kemudi. Anak-anaknya berlarian sambil melemparkan gumpalan pasir satu sama
lain. Mereka gembira karena selama ini duduk terkurung dalam palka (ruang barang di bawah dek) yang
sempit.
Tiba-tiba beberapa orang berpakaian
hitam-hitam, dengan celana setinggi lutut dan berikat kepala hitam dengan kumis
lebat hitam melintang, memegang tombak mendatangi Manen. Mereka menganggukkan
kepala rupanya memberi hormat. Semula Manen sama sekali tidak mengerti apa yang
diucapkan mereka. Namun akhirnya dengan hanya berbahasa isyarat Manen dan orang-orang itu, yang ternyata adalah para punggawa
(pengawal kerajaan) dari
sebuah kerajaan di pulau itu, dapatlah menjalin percakapan yang berjalan dengan
lancar.
Seorang di antara punggawa itu berkata
: “Kedatangan saudara ke kerajaan kami di pulau ini telah diketahui raja kami.
Itu karena suara kokok ayam jantanmu, sedangkan di kerajaan ini tidak ada lagi
ayam jantan yang berkokok karena semua mati.
Jika ada ayam jantan yang dapat
mengalahkan ayam jantan raja,
maka raja sendiri kemudian turun berkelahi sampai mati dengan pemiliknya. Jika
pemiliknya mati ayamnya pun
kemudian dibunuh pula.”
Punggawa lainnya berkata menambahkan :
“Belum ada yang mampu untuk mengalahkan raja kami yang bernama Arya
Pecutanda yang sakti dan kebal itu. Ayam saudara telah berkokok, itu
berarti ayam dan pemiliknya telah menantang raja.”
“Waah, aku tidak berniat seperti itu.
Mana kutahu ada peraturan seperti itu di sini. Aku hanya ingin menetap di sini,
mengadu untung mencari kehidupan baru yang jauh dari kampung halamanku di
seberang laut ini. Biarlah nanti ayamku itu akan kupotong untuk dimakan saja,” jawab Manen dengan sopannya merendahkan diri.
Punggawa itu memegang tangan Manen dan
berkata : “Jangan kau bunuh ayammu itu. Mungkin nasibmu baik, dapat mengalahkan
ayamnya serta dirinya pula. Sudah tidak tahan kami mengabdi pada raja yang
demikian kejamnya itu. Tapi semua arya
(gelar bangsawan orang Madura) lainnya tidak dapat dan tidak berani
melawannya. Walau pun ayammu kau bunuh, kau pula yang dibunuhnya dan seluruh
milikmu dirampas. Sudahlah besok kau kami jemput, jadi beristirahatlah kau
dahulu. Kami dan semua arya yang ada
akan mendoakan kemenanganmu. Semoga raja mendapat musuh yang dapat
mengalahkannya kali ini.” Setelah kembali memberi hormat para punggawa itu
berlalu.
Manen kembali ke atas banama
mendapatkan isterinya dan
menceriterakan tentang
percakapannya dengan orang-orang itu. Ia menjadi sedih karena merasa bersalah, ingin membawa keluarganya lari dari kesulitan malah mendatangi kesulitan baru yang
nampaknya akan mengakhiri nyawa mereka semua.
Dengan tersenyum Bawin Jata berkata :
“Kak Manen, janganlah cemas. Bukankah engkau menantu Jata, dewata yang
menguasai alam bawah ? Aku akan memohon bantuan ayahku demi keluarga kita. Kau
hadapi saja tantangan itu besok.”
Keesokan harinya Manen dijemput para
punggawa dan dibawa menghadap raja mereka. Sebelum berangkat Bawin Jata
menyerahkan sebilah duhung (senjata tradisional
suku Dayak, mata berbentuk tombak)
berhulu gading lengkap dengan sarungnya dari perak berukir.
Selama ini tidak
pernah Manen melihat duhung itu, yang lalu disisipkannya di perutnya. Di
halaman sebuah rumah besar dari kayu yang berukir indah telah disiapkan
gelanggang menyabung ayam.
Sambil duduk dikursinya Arya Pecutanda berkata pada Manen
yang duduk berjongkok, seraya mengelus-elus ayamnya : “Hai orang asing ! Mungkin sudah kau ketahui dari punggawa, tapi
akan kuulang kembali tentang peraturan pertandingan kita ini. Jika ayammu
kalah, ayam itu harus dibunuh. Kau dan keluargamu bebas tetapi hartamu
kuambil. Jika ayammu menang,
pertandingan dilanjutkan antara kau dan aku sampai ada yang mati. Andai kau
mati, keluargamu pun kubunuh dan hartamu jadi milikku. Andaikata aku yang mati ambillah kerajaanku sebagai milikmu.
Bila kau takut bertanding dan membunuh ayammu, kau sekeluarga menjadi budakku
dan hartamu kuambil. Suka tidak suka itulah peraturanku.”
Dengan tenang Manen menjawab : “Aku
hidup dengan satu pandangan. Di mana buminya kupijak, adat dan aturannya akan
kuturuti.”
Singkat cerita persabungan ayam pun
dimulai. Ayam raja itu masih ditambah dengan taji dari besi kecil yang tajam
setiap sisi di kedua kakinya, sedangkan
ayam jantan Manen hanya taji aslinya
yang cukup panjang juga. Dan, dalam persabungan itu ayam rajalah yang
kalah.
Ayam Manen cukup cerdik, tajinya pada
gebrakan yang pertama. langsung mengenai mata
ayam jago raja. Setelah ayam raja kelimpungan tidak dapat melihat, dengan ganas
bertubi-tubi ayam Manen menikamkan tajinya hingga ayam raja mengeok kesakitan
dan berlari pergi.
Arya Pecutanda berdiri dari kursinya
dengan wajah memerah, mendekati Manen lalu membawanya mendekati sebuah lubang
dalam tanah. Lubang itu adalah sebuah sumur kering, garis tengahnya satu meter
dan dalamnya setinggi bahu.
Arya lalu berkata :
“Inilah tempat kita bertarung sampai mati. Biarlah aku turun lebih dahulu.”
Setelah keduanya bersiap, telah sama
berdiri tegak berhadapan dalam lubang itu, Arya Pecutanda berkata lagi : “Arya Wiraraja, tolong kau hitung
sampai tiga untuk kami berdua bertikam.”
Tepat pada hitungan ketiga, tangan
kedua orang itu bergerak dengan cepat mencabut senjata masing-masing. Akan halnya Manen, bagai kilat kedua tangannya mencabut
duhungnya ke atas lalu menyorongkannya ke perut Arya Pecutanda dengan deras
sampai ke gagangnya.
Ujungnya menembusi badan Arya dan
menancap di dinding lubang itu hingga Arya seperti dipakukan. Kepala Arya terkulai, wajahnya yang hitam
semakin kelam terkena duhung beracun itu. Ia tidak sempat sama sekali mencabut
kerisnya yang terselip di punggung. Kedua tangannya terbentur dinding lubang.
Karena Manen menusuk sambil merapatkan badannya, hingga kedua tangan Arya tidak
leluasa bergerak.
Para arya dan orang banyak di atas
lubang bersorak, raja yang kejam dan ditakuti itu telah mati. Beramai-ramai
mereka mengangkat Manen keluar lubang dan menggotongnya naik ke rumah besar,
istana kerajaan itu. Isteri dan anak-anaknya dijemput mereka dan diusung dengan
hormatnya. Semuanya setuju dan merelakan Manen si orang asing sebagai rajanya.
Manen bertindak bijaksana dengan
membebaskan seluruh budak yang ada. Bagi beberapa orang yang masih ingin
tinggal bersamanya dan membantunya bukan lagi dianggap sebagai budak melainkan
seperti keluarga sendiri dan diberi upah yang layak.
Setiap orang boleh memelihara ayam
jantan lagi dan kebebasan menyabung ayam seperti biasa. Peraturan Arya
dihapuskan karena Manen sendiri hanya memelihara saja, tidak menyabungkan
ayamnya.
Keturunan Manen
kemudian berbaur dengan penduduk
asli pulau itu yakni pulau Madura. Oleh sebab itu orang-orang Madura yang
merupakan keturunan Manen, kaum lelakinya telinganya sebelah bertindik
(lubang telinga untuk mengaitkan subang) sedang-kan perempuan bergelang di
kaki. Jika ditanya silsilahnya, mereka pasti menjawab : “Kami adalah anak cucu Datu
Manen dari seberang, dan orang Dayak adalah saudara kami.”
Bekas mendaratnya Manen di pulau
Madura hingga kini masih dapat dilihat, banamanya telah berubah menjadi sebuah
batu besar berbentuk sepotong sabut kelapa. Letaknya di Tanjung Piring dekat desa Nipah, kecamatan
Ketapang kabupaten Sampang. Batu itu ditumbuhi beringin, merupakan
tempat orang berhajat dan dikeramatkan.
Kabar tentang kehidupan Manen sampai
ke kampungnya, dibawa oleh pelaut-pelaut
Madura yang berdagang sapi ke pulau
Kalimantan. Sepeninggalnya Manen sekeluarga tetap saja banyak wanita hamil
dan bayi yang mati sehabis melahirkan. Ketika mereka manyanggar (menyelenggarakan upacara tolak bala) menanyakan sebabnya dengan para dewa,
diperoleh petunjuk hal ini disebabkan kurangnya menjaga kebersihan lingkungan
serta peralatan sewaktu melahirkan itu sendiri.
Seluruh penduduk dan sanak keluarga
Manen menyesal atas perbuatannya.
Sebagai kenang-kenangan kepadanya desa mereka itu lalu dinamakan Manen Paduran, letaknya di tepi sungai
Kahayan termasuk kecamatan Banama Tingang kabupaten Pulang Pisau.
Kurang lebih lima belas menit berjalan
kaki ke belakang desa Manen Paduran di sungai Rahai di tepi danau Lewu
akan kita jumpai bekas galian sepanjang tiga puluh empat meter, lebar sepuluh
meter dan dalam dua meter. Menurut
cerita orang tua-tua, mungkin galian ini adalah pola waktu Manen membuat
banamanya. Di sekitar tempat itu berserakan tatalan kayu sungkai yang telah
menjadi batu (fossil). ****