Keluarnya rombongan Pangeran Adipati
Antakesuma dari sungai Sebangau karena merasa wilayah itu masih dekat
dengan negeri atau kerajaan Banjar. Sebab itulah maka Pangeran Adipati
Antakesuma menamai daerah ini termasuk sungai dan teluknya dengan Sebangau, karena ngangau (bahasa Banjar :
ingar, suara ribut, gaduh, hiruk pikuk) orang-orang di Banjar masih
kedengaran.
Beberapa hari kemudian
rombongan itu menemukan sebuah sungai serta memasukinya. Sebuah dusun yang
penduduknya hidup dari menangkap ikan mereka singgahi. Di sini rombongan
Pangeran Adipati Antakesuma bermalam.
Tempat itu belum punya nama; namun mereka mengetahui adanya kerajaan
Banjar, sebab kadang-kadang mereka memasarkan hasil perolehannya berupa ikan
kering ke Bandar Masih (sekarang Banjarmasin).
Semua warga dusun
melayani rombongan Pangeran dengan ramahnya, selama beberapa hari mereka tidak melaut (mencari ikan ke laut). Pangeran
mengatakan bahwa akibat kedatangannya maka warga dusun itu terpaksa bahaur (bahasa Banjar : menjadi sibuk) sedikit. Namun setiap malam masih terdengar suara agung (bahasa Banjar : gong) Kayat Peradah terbawa angin sampai ke
tempat ini. Pangeran memutuskan untuk
meneruskan perjalanannya.
Sebelum berangkat
Pangeran Adipati Antakesuma menyerahkan sekedar biaya untuk mengganti
perongkosannya selama bermalam di tempat itu.
Karena dipaksa akhirnya kepala dusun itu menerimanya dengan beberapa
kali mengatakan bahwa pemberian Pangeran itu bagi mereka kahaian (bahasa Dayak Ngaju : terlalu besar, terlalu banyak). Sejak
saat itulah dusun mereka itu dikenal dengan sebutan Bahaur dan sungai itu hingga sekarang disebut dengan nama sungai Kahaian atau sungai Kahayan.
Kembali ketujuh buah perahu
layar itu terombang-ambing oleh gelombang ketika menyusuri pesisir pantai laut
Jawa. Tiga hari kemudian mereka melihat muara sebuah sungai dan lalu
memasukinya. Ada setengah hari pelayaran dengan hanya berdayung hingga mereka
menjumpai sebuah kampung. Penduduknya kebanyakan beragama Islam dan ternyata
juga berasal dari daerah dan suku Banjar.
Ketika bermalam di
kampung ini sayup-sayup masih terdengar suara Kayat Peradah terbawa angin.
Walaupun penduduk kampung di sungai Katingan ini menginginkan Pangeran Adipati
Antakesuma untuk menetap serta mendirikan kerajaannya, namun Pangeran agak
kurang berkenan.
Pangeran lalu berkata
: “Aku sangat berterima kasih pada kalian warga kampung ini. Namun untuk
mendirikan kerajaan serta menjadi raja di sini aku merasa hawai (bahasa Banjar : hambar, kurang berkenan) sebab masih
kudengar suara agung Kayat Peradah. Hal itu menandakan bahwa tempat ini masih
dekat dengan kerajaan Banjar. Sebab itu
sungai dan kampung ini kunamakan Mendawai”.
Esok harinya rombongan
Pangeran kembali berlayar dan sehari kemudian terlihat muara sungai Mentaya.
Pangeran dan pengikutnya memasuki sungai ini hingga sampai pertengahannya
serta bermalam di sebuah kampung selama
tiga hari. Penduduk kampung ini menerimanya dengan baik dan menginginkan
Pangeran menetap di kampung mereka. Namun nampaknya Pangeran masih berpikir,
itu terlihat dari dahinya yang berkerut.
Tiga hari kemudian
Pangeran mengumpulkan kerabatnya dan warga kampung, lalu beliau berkata : “Aku
sangat berterimakasih dengan sikap warga kampung ini yang menerima kedatanganku
dengan tulus ikhlas. Namun suara agung Kayat Peradah masih kudengar dan itu
menandakan daerah ini masih dekat dengan kerajaan Banjar. Lagi pula sungai ini
terlalu pendek dan perairannya sangat sampit
(bahasa Banjar : sempit, tidak leluasa) sebab banyaknya pulau di tengah sungai.
Maka sebagai kenangan kunamai sungai serta kampung ini dengan Sampit. Aku bermohon diri meneruskan
perjalananku mencari tempat yang sesuai untuk mendirikan kerajaanku”.
Kembali tujuh buah
perahu itu berlayar menyusuri pesisir pantai menuju ke arah barat. Setelah
berada empat hari di laut, akhirnya rombongan Pangeran Adipati Antakesuma
memasuki sungai Seruyan. Dari laut sudah kelihatan ada sebuah kampung yang
cukup besar terletak di muaranya. Rombongan Pangeran lalu berhenti dan bermalam
di tempat itu.
Malam harinya Pangeran
duduk termenung, ia sangat menyenangi tempat ini. Malam penuh bintang di
langit. Puncak gelombang-gelombang kecil di laut lepas menimbulkan garis-garis
putih yang timbul tenggelam, sungguh indah pemandangannya.
Sudah beberapa malam
ini tidak terdengar sama sekali suara agung Kayat Peradah, berarti tempat ini
sudah jauh dari wilayah kerajaan Banjar. Pangeran Adipati Antakesuma memutuskan
untuk menetap dan mendirikan kerajaannya di tempat ini.
Esok harinya Pangeran
Adipati Antakesuma mengumpulkan penduduk kampung itu. Di hadapan para tetua
kampung Pangeran berkata : “Aku sangat tertarik dengan tempat ini. Terasa nyaman, tenteram dan sesuai bagiku.
Bagaimana pendapat kalian jika aku menetap dan mendirikan kerajaan di sini ?”
Para tetua kampung itu
tercekat mendengarnya, mereka saling pandang dan hampir bersamaan menjawab :
“Kami sekalian ini tiada adat beraja karena sejak dahulu kami beraja dan
mengantarkan upeti ke Banjar”.
“Benarkah kalian semua
tiada hendak berajakan aku ini ?”, tanya Pangeran Adipati Antakesuma penuh
harap, “Untuk kalian ketahui aku ini adalah adik kandung dari raja Banjar yang
sekarang bertahta, jadi sebenarnya kalian tidak usah ragu”.
“Benarlah, tiada kami
berkata dua lagi”, sahut semua mereka para tetuha kampung itu.
Pangeran terdiam
mendengarnya, ia menjadi sedih. Ketika tempatnya sudah sesuai di hati, tapi
warga tidak menginginkan keberadaannya. Padahal mereka adalah rakyat
kerajaannya sendiri. Namun Pangeran Adipati Antakesuma tidak pernah ingin
memaksakan kehendak, walau ia dengan para pengikutnya dapat saja berbuat.
Pangeran lupa meminta surat titah dari kakaknya Sultan Inayatullah, sebagai bukti yang dapat membuat warga kampung
itu percaya.
Pangeran Adipati Antakesuma
pun berujar : “Aku tidak kecewa atas sikap kalian yang tidak bersedia berajakan
aku. Sikap kalian benar dalam berhati-hati menerima setiap pendatang baru.
Namun kutegaskan sekali lagi bahwa aku benar-benar keluarga kerajaan Banjar,
tepatnya adik kandung raja yang memerintah sekarang ini yaitu Sultan
Inayatullah. Sebagai kenangan bahwa kalian telah membuang raja, maka sungai ini
kunamakan Pembuang dan kampung ini Kuala Pembuang”.
Selama beberapa hari
Pangeran tinggal di Kuala Pembuang ini, sementara menunggu datangnya sebuah
perahunya yang telah melaut untuk mencari tahu jalur pelayaran yang akan
ditempuh selanjutnya. Ketika perahu itu datang, nakhodanya segera berdatang
sembah : “Tuanku menurut pengamatan hamba pelayaran selanjutnya sangat sulit
sebab pantai di sebelah barat ini sangat jauh menganjur ke laut. Seakan-akan
tidak ada puting (bahasa Banjar :
ujung) nya, serta gelombang di sana sangat besar”.
Tempat yang dilaporkan
nakhoda itu lalu dinamakan Pangeran Adipati Antakesuma dengan Tanjung Puting hingga sekarang. Setelah
berpikir sebentar sehabis mendengarkan laporan nakhodanya tadi, Pangeran
memutuskan perjalanan tetap akan dilanjutkan dengan memudiki sungai Pembuang
itu sampai ke hulunya. Selanjutnya jika tidak mungkin lagi untuk dilayari, akan
diteruskan lewat daratan dengan berjalan kaki terus ke arah barat.
Sesudah berpamitan
dengan tetuha kampung Kuala Pembuang itu rombongan Pangeran pun berlayar mudik
sungai Pembuang. Perjalanan mudik itu berlangsung perlahan-lahan, di setiap kampung
mereka singgah dan bermalam. Walau pun perairan sungai sudah mulai sulit untuk
dilayari karena arusnya yang deras dan banyak riam, namun Pangeran merasa
seakan terpanggil untuk terus memudiki sungai Pembuang itu.
Pelayaran mudik sungai
mulai hanya dengan berdayung saja. Layar digulung dan diturunkan sebab di atas
perairan sungai, cabang serta dahan pepohonan di setiap tebing baik kiri mau
pun kanan sudah bertaut, sungai semakin menyempit.
Sudah seminggu mereka
berdayung dengan hanya berhenti di malam hari. Sudah beberapa dusun dan kampung
telah disinggahi. Sudah banyak riam yang berarus deras dilewati, namun Pangeran
tetap belum juga berhenti mudik seakan ingin mencari hulu dari sungai Pembuang
itu.
Suatu ketika rombongan
perahu layar Pangeran Adipati Antakesuma itu berdayung mudik menyusuri rantau (bahasa Dayak Ngaju : tepi
sungai yang lurus dan panjang) sisi kiri yang kesudahannya berakhir pada sebuah
kampung yang cukup besar dan banyak penduduknya.
Mereka pun berhenti
dan bermalam di kampung itu, nampaknya kampung itulah yang selama ini
melayangkan pulut (bahasa Banjar :
pelet untuk burung, serasa terpanggil selalu untuk mendekat) nya terhadap
Pangeran. Sebagai kenangan terhadap kampung itu, maka Pangeran Adipati
Antakesuma menamakannya dengan Rantau
Pulut.
Mengenai siapa dirinya
serta maksud perjalanannya hingga sampai ke tempat itu telah pula disampaikan
oleh Pangeran kepada kepala kampung dan tetuha-tetuhanya. Mereka tidak
keberatan atas niat Pangeran itu. Tetapi Pangeran mempertimbangkan kampung ini
masih terletak dalam aliran sungai Pembuang yang telah membuangnya sebagai
raja.
Kali ini keinginan
Pangeran untuk meneruskan perjalanan lewat sungai berhenti. Pangeran lalu
memerintahkan untuk membongkar barang-barangnya serta selanjutnya kepada para
nakhoda diperintahkan Pangeran untuk pulang kembali ke Bandar Masih, ibukota
kerajaan Banjar. Semua perahu layar itu putar haluan untuk kembali.
Pangeran berkata
kepada kepala kampung Rantau Pulut : “Andika
(bahasa Banjar : anda, saudara), untuk beberapa hari ini aku masih ingin
bermalam dan beristirahat di kampungmu ini. Aku sangat berterimakasih atas
sambutan dan penerimaan warga kampung ini. Aku ingin meneruskan perjalananku
seperti tujuanku semula yakni mencari suatu tempat untuk mendirikan sebuah
kerajaan. Sementara itu aku ingin memohon bantuanmu apakah kau tahu ada jalan
darat yang dapat kulalui untuk pergi ke arah barat ?”
“Ada tuanku,
sebuah jalan setapak
tua sepanjang bekas galian
penambangan emas yang
dilakukan orang-orang Cina yang dinamakan Parit
Cina. Mungkin sekarang sudah menjadi semak belukar kembali sebab jarang
dilalui, jalan ini menembus hulu sungai Arut di laman (bahasa Dayak Arut : kampung, desa, negeri) Pandau”, sahut
kepala kampung Rantau Pulut dengan takzim
(bahasa Arab : hormat) nya.
Setelah cukup
beristirahat maka Pangeran Adipati Antakesuma serta rombongannya pagi-pagi
benar berangkat dengan berjalan kaki ke arah barat mengikuti jalur jalan setapak Parit Cina. Menjelang
magrib mereka sampai di tepi sungai Arut, di laman Pandau. Rombongan
Pangeran diterima warga laman tersebut dengan penuh keramahtamahan.
Malam harinya Pangeran
mengumpulkan sekalian warga laman Pandau tersebut dan mengutarakan siapa
dirinya serta maksud perjalanannya.
Lalu beliau
melanjutkan : “Tiadakah hendak kalian semua berajakan aku ?”
Sekalian tetua laman
Pandau itu pun berucap : “Sudah kami pikirkan, dari pada kami manyula (bahasa Dayak Arut : mengabdi,
mengantarkan upeti) ke Banjar terlalu jauh, lebih baik kami manyula yang
dekat”.
“Jika kalian saja yang
menyetujuiku, bagaimana dengan laman-laman lainnya ?” tanya Pangeran pula lebih
menjajaki.
“Kami sekayu (bahasa Dayak Arut : sebatang
kali, sepanjang sungai) Arut akan menunduk-kannya !” jawab sekalian warga laman
Pandau itu.
“Jika demikian
kesungguhan hati kalian hendak berajakan aku, maka aku ingin bersumpah di
hadapan kalian. Jika anak cucuku durhaka atau khianat kepada anak cucu kalian,
maka mereka tidak akan selamat dunia akhirat. Demikian pula sebaliknya jika
anak cucu kalian durhaka atau khianat kepada anak cucuku”, kata Pangeran.
Untuk menguatkan
sumpah janji itu kedua belah pihak mengorbankan warganya, masing-masing seorang
lelaki suku Banjar dan seorang lelaki suku Dayak Arut. Sebuah lobang digali dan keduanya dikubur
hidup-hidup, di atasnya
diletakkan sebuah batu besar.
Orang-orang Arut mengenal batu tersebut dengan sebutan Pati Darah Janji Semaya.
Sedangkan Pangeran
menamakan batu itu Batu Patahan karena
ia sudah bertahan di tempat itu. Batu itu yang merupakan prasasti “tumbal
persaudaraan” hingga kini masih ada
di desa Pandau termasuk kecamatan Arut Utara kabupaten Kotawaringin Barat.
Kemudian dekat Batu
Patahan itu oleh Pangeran Adipati Antakesuma didirikan Balai Kakapa (bahasa Banjar : tempat jedah, bangunan beratap tanpa
dinding), bahannya semua dari kayu jati bawaannya dari Banjar; asalnya dahulu
itu bawaan Pangeran Surianata (raja
Banjar pertama) dari kerajaan Majapahit. Ramai warga laman Pandau itu
bergotongroyong membantu Pangeran mendirikan bangunan itu.
Kepada warga sekayu
Arut, Pangeran menghadiahi pusaka dari kerajaan Banjar yakni Sarampang Bakurung (sejenis trisula)
dan Sangkuh Canggah (tombak
berkait). Selain itu seluruh orang sungai Arut tidak dibenarkan atau tidak
perlu menyembah anak cucu Pangeran Adipati Antakesuma.
Sesudah cukup rasanya
beristirahat maka Pangeran pun ingin meneruskan perjalanannya menghiliri sungai
Arut serta kemudian memudiki sungai Lamandau.
Setelah dua hari lamanya berkayuh perahu sampailah ke sebuah laman yang
bernama Tanah Ambau Tanjung
Pangkalan Batu yang berada di bawah pimpinan Kiai Gede dan Demung Tujuh (Demang Tujuh Bersaudara).
Patih Patinggi Diumpang, pemimpin suku sekayu Arut naik ke darat
mendapatkan Kiai dan Demung Tujuh serta para tetuha dan warga laman itu
seluruhnya.
“Kami ini datang
mengantarkan keluarga dari kerajaan Banjar. Nama beliau Pangeran Adipati
Antakesuma dengan maksud untuk mendirikan kerajaan di sini”, demikian singkat
kata Patih Patinggi Diumpang.
Kiai Gede, Demung
Tujuh serta seluruh warga laman Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu gembira
mendengarnya. Sudah lama mereka ingin bertemu dan memiliki seorang raja, kali
ini malah calon raja yang telah datang mengantarkan dirinya.
Kiai Gede pun lalu basimpun (bahasa Banjar : berbenah, berkemas) rumahnya. Sesudah
basimpun itu Kiai Gede lalu turun ke tepi sungai Lamandau mendapatkan Pangeran
Adipati Antakesuma, menghaturkan sembah dan mengajaknya naik ke darat bermalam
di rumahnya.
Seluruh rombongan
Pangeran naik dan disambut oleh warga laman Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu
dengan penuh keramahan. Ramailah mereka itu saling bercerita dan berbagi
pengalaman.
Akan halnya Patih
Patinggi Diumpang, ia memohon diri pada Pangeran untuk kembali ke lamannya,
namun atas saran Kiai Gede, ia dan para pengikutnya pulang dengan jalan
berputar lewat hulu sungai Lamandau.
“Kau beritahulah warga
di sekayu Lamandau dan pemimpin mereka Patih
Jayang Pati, yang kita ini kedatangan raja dan saat ini berada di Tanah
Ambau Tanjung Pangkalan Batu”, demikian pesan Kiai Gede kepada Patih Patinggi
Diumpang.
Sedangkan Kiai Gede
mengirimkan pengikutnya ke Jelai dan
Lawai (sekarang termasuk wilayah
provinsi Kalimantan Barat), dan sekembalinya utusan itu semuanya membawa kabar
yang menggembirakan, menerima kedatangan
Pangeran dan bersedia menghamba padanya.
Pangeran lalu
mendirikan istananya yang dinamakannya Istana
Luhur Tiang Baukir dan menetapkan
undang-undang kerajaan dalam sebuah kitab yang dinamakan Kanun Kuntara.
Selain itu dibangun
pula perpatih (rumah jabatan
mangkubumi/perdana menteri) yang dijabat oleh Kiai Gede dengan nama Gadung Bundar Nurhayati, juga perdipati (rumah jabatan panglima
perang) yang namanya Gadung Asam,
dan Paagungan (tempat menyimpan
pusaka kerajaan), Paseban (tempat
menghadap) serta sebuah surau yang mengalami perluasan dan perbaikan pada masa
pemerintahan raja-raja selanjutnya yang hingga sekarang dikenal dengan nama masjid Kiai Gede.
Selama masa
pembangunan semua kelengkapan pemerintahannya itu Pangeran dan keluarganya
tinggal di lanting (bahasa Banjar :
rumah di atas rakit dari kayu log terletak di atas air, di tepi sungai), hingga
ketika anak keduanya seorang perempuan lalu dinamakan Puteri Lanting.
Di belakang areal
pusat kerajaan itu terdapat sebuah danau sebagai perhuluan dari sungai Teringin (yang banyak ditumbuhi pohon
beringin), anak sungai Lamandau, yang muaranya jauh berada di sebelah hilir
dekat muara sungai Lamandau sendiri. Sekeliling Istana Luhur Tiang Baukir
dibangun pagar pengaman tradisional dari papan kayu ulin tebal yang disebut kuta. Itulah sebabnya maka Pangeran
Adipati menamakan tempatnya itu dengan Kuta
Teringin, yang berubah menjadi Kutaringin
serta kemudian akhirnya menjadi Kotawaringin.
Setelah mendapat restu
dari kakaknya Sultan Inayatullah, maka Pangeran Adipati Antakesuma mema’zul (bahasa Arab : mengangkat dengan
banyaknya dukungan atau kekuatan) kan dirinya sebagai raja yang pertama dari
kerajaan Kotawaringin dengan gelar Ratu
Bagawan. Daerah kekuasaan kerajaan
Kotawaringin meliputi sungai Mendawai (sungai Katingan) di sebelah
Timur, sungai Sampit (sungai
Mentaya), sungai Pembuang (sungai
Seruyan), sungai Kumai, sungai Lamandau dan anaknya sungai
Arut, hingga sungai Jelai di sebelah
Barat.
Untuk melindungi
kerajaan Kotawaringin, para pengikutnya yang setia dan digjaya duduk bersamadi
hingga gaib, pada beberapa pojok tertentu dari wilayah kerajaan tersebut dengan
radius sekitar lima kilometer. Mereka itu adalah Datu Batu Hitam, Raden Tukas Banua, Galeger Bosi, Puteri
Emek-emek, Rangga Santrek, Rantai Wulung dan Simpai Dudung.
Menjelang akhir hayatnya Ratu
Bagawan (Pangeran Adipati Antakesuma) menyerahkan tahta kerajaan kepada
puteranya Pangeran Mas Dipati,
sedangkan mangkubumi masih dijabat oleh Kiai Gede. Kemudian Ratu Bagawan pulang
ke Bandar Masih, meninggal dalam usia tuanya serta dikuburkan dalam satu
kompleks makam dengan moyangnya Sultan
Suriansyah, raja kerajaan Banjar yang ke delapan di kampung Kuin Utara,
kabupaten Banjar provinsi Kalimantan Selatan.
(*)(*)