Minggu, 17 Agustus 2014

Perjalanan Sang Pangeran

Keluarnya rombongan Pangeran Adipati Antakesuma dari sungai Sebangau karena merasa wilayah itu masih dekat dengan negeri atau kerajaan Banjar. Sebab itulah maka Pangeran Adipati Antakesuma menamai daerah ini termasuk sungai dan teluknya dengan Sebangau, karena ngangau  (bahasa Banjar : ingar, suara ribut, gaduh, hiruk pikuk) orang-orang di Banjar masih kedengaran. 
                Beberapa hari kemudian rombongan itu menemukan sebuah sungai serta memasukinya. Sebuah dusun yang penduduknya hidup dari menangkap ikan mereka singgahi. Di sini rombongan Pangeran Adipati Antakesuma bermalam.  Tempat itu belum punya nama; namun mereka mengetahui adanya kerajaan Banjar, sebab kadang-kadang mereka memasarkan hasil perolehannya berupa ikan kering ke Bandar Masih (sekarang Banjarmasin).
                Semua warga dusun melayani rombongan Pangeran dengan ramahnya, selama beberapa hari mereka tidak melaut (mencari ikan ke laut). Pangeran mengatakan bahwa akibat kedatangannya maka warga dusun itu terpaksa bahaur (bahasa Banjar :  menjadi sibuk) sedikit.  Namun setiap malam masih terdengar suara agung (bahasa Banjar : gong) Kayat Peradah terbawa angin sampai ke tempat ini.  Pangeran memutuskan untuk meneruskan perjalanannya.
                Sebelum berangkat Pangeran Adipati Antakesuma menyerahkan sekedar biaya untuk mengganti perongkosannya selama bermalam di tempat itu.  Karena dipaksa akhirnya kepala dusun itu menerimanya dengan beberapa kali mengatakan bahwa pemberian Pangeran itu bagi mereka kahaian (bahasa Dayak Ngaju : terlalu besar, terlalu banyak). Sejak saat itulah dusun mereka itu dikenal dengan sebutan Bahaur dan sungai itu hingga sekarang disebut dengan nama sungai Kahaian atau sungai Kahayan.
                Kembali ketujuh buah perahu layar itu terombang-ambing oleh gelombang ketika menyusuri pesisir pantai laut Jawa. Tiga hari kemudian mereka melihat muara sebuah sungai dan lalu memasukinya. Ada setengah hari pelayaran dengan hanya berdayung hingga mereka menjumpai sebuah kampung. Penduduknya kebanyakan beragama Islam dan ternyata juga berasal dari daerah dan suku Banjar.
                Ketika bermalam di kampung ini sayup-sayup masih terdengar suara Kayat Peradah terbawa angin. Walaupun penduduk kampung di sungai Katingan ini menginginkan Pangeran Adipati Antakesuma untuk menetap serta mendirikan kerajaannya, namun Pangeran agak kurang berkenan.
                Pangeran lalu berkata : “Aku sangat berterima kasih pada kalian warga kampung ini. Namun untuk mendirikan kerajaan serta menjadi raja di sini aku merasa hawai (bahasa Banjar : hambar, kurang berkenan) sebab masih kudengar suara agung Kayat Peradah. Hal itu menandakan bahwa tempat ini masih dekat dengan kerajaan Banjar.  Sebab itu sungai dan kampung ini kunamakan Mendawai”.
                Esok harinya rombongan Pangeran kembali berlayar dan sehari kemudian terlihat muara sungai Mentaya. Pangeran dan pengikutnya memasuki sungai ini hingga sampai pertengahannya serta  bermalam di sebuah kampung selama tiga hari. Penduduk kampung ini menerimanya dengan baik dan menginginkan Pangeran menetap di kampung mereka. Namun nampaknya Pangeran masih berpikir, itu terlihat dari dahinya yang berkerut.
                Tiga hari kemudian Pangeran mengumpulkan kerabatnya dan warga kampung, lalu beliau berkata : “Aku sangat berterimakasih dengan sikap warga kampung ini yang menerima kedatanganku dengan tulus ikhlas. Namun suara agung Kayat Peradah masih kudengar dan itu menandakan daerah ini masih dekat dengan kerajaan Banjar. Lagi pula sungai ini terlalu pendek dan perairannya sangat sampit (bahasa Banjar : sempit, tidak leluasa) sebab banyaknya pulau di tengah sungai. Maka sebagai kenangan kunamai sungai serta kampung ini dengan Sampit. Aku bermohon diri meneruskan perjalananku mencari tempat yang sesuai untuk mendirikan kerajaanku”.
                Kembali tujuh buah perahu itu berlayar menyusuri pesisir pantai menuju ke arah barat. Setelah berada empat hari di laut, akhirnya rombongan Pangeran Adipati Antakesuma memasuki sungai Seruyan. Dari laut sudah kelihatan ada sebuah kampung yang cukup besar terletak di muaranya. Rombongan Pangeran lalu berhenti dan bermalam di tempat itu.
                Malam harinya Pangeran duduk termenung, ia sangat menyenangi tempat ini. Malam penuh bintang di langit. Puncak gelombang-gelombang kecil di laut lepas menimbulkan garis-garis putih yang timbul tenggelam, sungguh indah pemandangannya.
                Sudah beberapa malam ini tidak terdengar sama sekali suara agung Kayat Peradah, berarti tempat ini sudah jauh dari wilayah kerajaan Banjar. Pangeran Adipati Antakesuma memutuskan untuk menetap dan mendirikan kerajaannya di tempat ini.
                Esok harinya Pangeran Adipati Antakesuma mengumpulkan penduduk kampung itu. Di hadapan para tetua kampung Pangeran berkata : “Aku sangat tertarik dengan tempat ini.  Terasa nyaman, tenteram dan sesuai bagiku. Bagaimana pendapat kalian jika aku menetap dan mendirikan kerajaan di sini ?”
                Para tetua kampung itu tercekat mendengarnya, mereka saling pandang dan hampir bersamaan menjawab : “Kami sekalian ini tiada adat beraja karena sejak dahulu kami beraja dan mengantarkan upeti ke Banjar”. 
                “Benarkah kalian semua tiada hendak berajakan aku ini ?”, tanya Pangeran Adipati Antakesuma penuh harap, “Untuk kalian ketahui aku ini adalah adik kandung dari raja Banjar yang sekarang bertahta, jadi sebenarnya kalian tidak usah ragu”.
                “Benarlah, tiada kami berkata dua lagi”, sahut semua mereka para tetuha kampung itu.
                Pangeran terdiam mendengarnya, ia menjadi sedih. Ketika tempatnya sudah sesuai di hati, tapi warga tidak menginginkan keberadaannya. Padahal mereka adalah rakyat kerajaannya sendiri. Namun Pangeran Adipati Antakesuma tidak pernah ingin memaksakan kehendak, walau ia dengan para pengikutnya dapat saja berbuat. Pangeran lupa meminta surat titah dari kakaknya Sultan Inayatullah, sebagai bukti yang dapat membuat warga kampung itu percaya.
                Pangeran Adipati Antakesuma pun berujar : “Aku tidak kecewa atas sikap kalian yang tidak bersedia berajakan aku. Sikap kalian benar dalam berhati-hati menerima setiap pendatang baru. Namun kutegaskan sekali lagi bahwa aku benar-benar keluarga kerajaan Banjar, tepatnya adik kandung raja yang memerintah sekarang ini yaitu Sultan Inayatullah. Sebagai kenangan bahwa kalian telah membuang raja, maka sungai ini kunamakan Pembuang dan kampung ini Kuala Pembuang”.   
                Selama beberapa hari Pangeran tinggal di Kuala Pembuang ini, sementara menunggu datangnya sebuah perahunya yang telah melaut untuk mencari tahu jalur pelayaran yang akan ditempuh selanjutnya. Ketika perahu itu datang, nakhodanya segera berdatang sembah : “Tuanku menurut pengamatan hamba pelayaran selanjutnya sangat sulit sebab pantai di sebelah barat ini sangat jauh menganjur ke laut. Seakan-akan tidak ada puting (bahasa Banjar : ujung) nya, serta gelombang di sana sangat besar”.
                Tempat yang dilaporkan nakhoda itu lalu dinamakan Pangeran Adipati Antakesuma dengan Tanjung Puting hingga sekarang. Setelah berpikir sebentar sehabis mendengarkan laporan nakhodanya tadi, Pangeran memutuskan perjalanan tetap akan dilanjutkan dengan memudiki sungai Pembuang itu sampai ke hulunya. Selanjutnya jika tidak mungkin lagi untuk dilayari, akan diteruskan lewat daratan dengan berjalan kaki terus ke arah barat.   
                Sesudah berpamitan dengan tetuha kampung Kuala Pembuang itu rombongan Pangeran pun berlayar mudik sungai Pembuang. Perjalanan mudik itu berlangsung perlahan-lahan, di setiap kampung mereka singgah dan bermalam. Walau pun perairan sungai sudah mulai sulit untuk dilayari karena arusnya yang deras dan banyak riam, namun Pangeran merasa seakan terpanggil untuk terus memudiki sungai Pembuang itu.
                Pelayaran mudik sungai mulai hanya dengan berdayung saja. Layar digulung dan diturunkan sebab di atas perairan sungai, cabang serta dahan pepohonan di setiap tebing baik kiri mau pun kanan sudah bertaut, sungai semakin menyempit.
                Sudah seminggu mereka berdayung dengan hanya berhenti di malam hari. Sudah beberapa dusun dan kampung telah disinggahi. Sudah banyak riam yang berarus deras dilewati, namun Pangeran tetap belum juga berhenti mudik seakan ingin mencari hulu dari sungai Pembuang itu.
                Suatu ketika rombongan perahu layar Pangeran Adipati Antakesuma itu berdayung mudik menyusuri rantau (bahasa Dayak Ngaju : tepi sungai yang lurus dan panjang) sisi kiri yang kesudahannya berakhir pada sebuah kampung yang cukup besar dan banyak penduduknya.
                Mereka pun berhenti dan bermalam di kampung itu, nampaknya kampung itulah yang selama ini melayangkan pulut (bahasa Banjar : pelet untuk burung, serasa terpanggil selalu untuk mendekat) nya terhadap Pangeran. Sebagai kenangan terhadap kampung itu, maka Pangeran Adipati Antakesuma menamakannya dengan Rantau Pulut.
                Mengenai siapa dirinya serta maksud perjalanannya hingga sampai ke tempat itu telah pula disampaikan oleh Pangeran kepada kepala kampung dan tetuha-tetuhanya. Mereka tidak keberatan atas niat Pangeran itu. Tetapi Pangeran mempertimbangkan kampung ini masih terletak dalam aliran sungai Pembuang yang telah membuangnya sebagai raja.
       Kali ini keinginan Pangeran untuk meneruskan perjalanan lewat sungai berhenti. Pangeran lalu memerintahkan untuk membongkar barang-barangnya serta selanjutnya kepada para nakhoda diperintahkan Pangeran untuk pulang kembali ke Bandar Masih, ibukota kerajaan Banjar. Semua perahu layar itu putar haluan untuk kembali.
                Pangeran berkata kepada kepala kampung Rantau Pulut : “Andika (bahasa Banjar : anda, saudara), untuk beberapa hari ini aku masih ingin bermalam dan beristirahat di kampungmu ini. Aku sangat berterimakasih atas sambutan dan penerimaan warga kampung ini. Aku ingin meneruskan perjalananku seperti tujuanku semula yakni mencari suatu tempat untuk mendirikan sebuah kerajaan. Sementara itu aku ingin memohon bantuanmu apakah kau tahu ada jalan darat yang dapat kulalui untuk pergi ke arah barat ?”
                 “Ada   tuanku,   sebuah   jalan  setapak  tua   sepanjang  bekas   galian   penambangan   emas   yang dilakukan orang-orang Cina yang dinamakan Parit Cina. Mungkin sekarang sudah menjadi semak belukar kembali sebab jarang dilalui, jalan ini menembus hulu sungai Arut di laman (bahasa Dayak Arut : kampung, desa, negeri) Pandau”, sahut kepala kampung Rantau Pulut dengan takzim (bahasa Arab : hormat) nya.
                Setelah cukup beristirahat maka Pangeran Adipati Antakesuma serta rombongannya pagi-pagi benar berangkat  dengan  berjalan kaki  ke arah barat  mengikuti  jalur jalan setapak Parit Cina. Menjelang
magrib mereka sampai di tepi sungai Arut, di laman Pandau. Rombongan Pangeran diterima warga laman tersebut dengan penuh keramahtamahan.
                Malam harinya Pangeran mengumpulkan sekalian warga laman Pandau tersebut dan mengutarakan siapa dirinya serta maksud perjalanannya.
                Lalu beliau melanjutkan : “Tiadakah hendak kalian semua berajakan aku ?”
                Sekalian tetua laman Pandau itu pun berucap : “Sudah kami pikirkan, dari pada kami manyula (bahasa Dayak Arut : mengabdi, mengantarkan upeti) ke Banjar terlalu jauh, lebih baik kami manyula yang dekat”.
                “Jika kalian saja yang menyetujuiku, bagaimana dengan laman-laman lainnya ?” tanya Pangeran pula lebih menjajaki.
                “Kami sekayu (bahasa Dayak Arut : sebatang kali, sepanjang sungai) Arut akan menunduk-kannya !” jawab sekalian warga laman Pandau itu.
                “Jika demikian kesungguhan hati kalian hendak berajakan aku, maka aku ingin bersumpah di hadapan kalian. Jika anak cucuku durhaka atau khianat kepada anak cucu kalian, maka mereka tidak akan selamat dunia akhirat. Demikian pula sebaliknya jika anak cucu kalian durhaka atau khianat kepada anak cucuku”, kata Pangeran.
                Untuk menguatkan sumpah janji itu kedua belah pihak mengorbankan warganya, masing-masing seorang lelaki suku Banjar dan seorang lelaki suku Dayak Arut.  Sebuah lobang digali  dan  keduanya  dikubur  hidup-hidup,  di atasnya diletakkan sebuah batu besar.  Orang-orang Arut mengenal batu tersebut dengan sebutan Pati Darah Janji Semaya.       
                Sedangkan Pangeran menamakan batu itu Batu Patahan karena ia sudah bertahan di tempat itu. Batu itu yang merupakan prasasti  “tumbal persaudaraan”  hingga kini masih ada di desa Pandau termasuk kecamatan Arut Utara kabupaten Kotawaringin Barat.
                Kemudian dekat Batu Patahan itu oleh Pangeran Adipati Antakesuma didirikan Balai Kakapa (bahasa Banjar : tempat jedah, bangunan beratap tanpa dinding), bahannya semua dari kayu jati bawaannya dari Banjar; asalnya dahulu itu bawaan Pangeran Surianata (raja Banjar pertama) dari kerajaan Majapahit. Ramai warga laman Pandau itu bergotongroyong membantu Pangeran mendirikan bangunan itu.
                Kepada warga sekayu Arut, Pangeran menghadiahi pusaka dari kerajaan Banjar yakni Sarampang Bakurung (sejenis trisula) dan Sangkuh Canggah (tombak berkait). Selain itu seluruh orang sungai Arut tidak dibenarkan atau tidak perlu menyembah anak cucu Pangeran Adipati Antakesuma.
                Sesudah cukup rasanya beristirahat maka Pangeran pun ingin meneruskan perjalanannya menghiliri sungai Arut serta kemudian memudiki sungai Lamandau.  Setelah dua hari lamanya berkayuh perahu sampailah ke sebuah laman yang bernama Tanah  Ambau  Tanjung  Pangkalan  Batu  yang berada di bawah pimpinan Kiai Gede dan Demung Tujuh (Demang Tujuh Bersaudara). 
                Patih Patinggi Diumpang, pemimpin suku sekayu Arut naik ke darat mendapatkan Kiai dan Demung Tujuh serta para tetuha dan warga laman itu seluruhnya.
                “Kami ini datang mengantarkan keluarga dari kerajaan Banjar. Nama beliau Pangeran Adipati Antakesuma dengan maksud untuk mendirikan kerajaan di sini”, demikian singkat kata Patih Patinggi Diumpang.
                Kiai Gede, Demung Tujuh serta seluruh warga laman Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu gembira mendengarnya. Sudah lama mereka ingin bertemu dan memiliki seorang raja, kali ini malah calon raja yang telah datang mengantarkan dirinya.
                Kiai Gede pun lalu basimpun (bahasa Banjar :  berbenah, berkemas) rumahnya. Sesudah basimpun itu Kiai Gede lalu turun ke tepi sungai Lamandau mendapatkan Pangeran Adipati Antakesuma, menghaturkan sembah dan mengajaknya naik ke darat bermalam di rumahnya. 
                Seluruh rombongan Pangeran naik dan disambut oleh warga laman Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu dengan penuh keramahan. Ramailah mereka itu saling bercerita dan berbagi pengalaman.
                Akan halnya Patih Patinggi Diumpang, ia memohon diri pada Pangeran untuk kembali ke lamannya, namun atas saran Kiai Gede, ia dan para pengikutnya pulang dengan jalan berputar lewat hulu sungai Lamandau.
                “Kau beritahulah warga di sekayu Lamandau dan pemimpin mereka Patih Jayang Pati, yang kita ini kedatangan raja dan saat ini berada di Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu”, demikian pesan Kiai Gede kepada Patih Patinggi Diumpang.
                  Sedangkan Kiai Gede mengirimkan pengikutnya ke Jelai dan Lawai (sekarang termasuk wilayah provinsi Kalimantan Barat), dan sekembalinya utusan itu semuanya membawa kabar yang menggembirakan,  menerima kedatangan Pangeran dan bersedia menghamba padanya.
                Pangeran lalu mendirikan istananya yang dinamakannya Istana Luhur Tiang Baukir dan  menetapkan undang-undang kerajaan dalam sebuah kitab yang dinamakan Kanun Kuntara.
                Selain itu dibangun pula perpatih (rumah jabatan mangkubumi/perdana menteri) yang dijabat oleh Kiai Gede dengan nama Gadung Bundar Nurhayati, juga perdipati (rumah jabatan panglima perang) yang namanya Gadung Asam, dan Paagungan (tempat menyimpan pusaka kerajaan), Paseban (tempat menghadap) serta sebuah surau yang mengalami perluasan dan perbaikan pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya yang hingga sekarang dikenal dengan nama masjid Kiai Gede.
                Selama masa pembangunan semua kelengkapan pemerintahannya itu Pangeran dan keluarganya tinggal di lanting (bahasa Banjar : rumah di atas rakit dari kayu log terletak di atas air, di tepi sungai), hingga ketika anak keduanya seorang perempuan lalu dinamakan Puteri Lanting.
                Di belakang areal pusat kerajaan itu terdapat sebuah danau sebagai perhuluan dari sungai Teringin (yang banyak ditumbuhi pohon beringin), anak sungai Lamandau, yang muaranya jauh berada di sebelah hilir dekat muara sungai Lamandau sendiri. Sekeliling Istana Luhur Tiang Baukir dibangun pagar pengaman tradisional dari papan kayu ulin tebal yang disebut kuta. Itulah sebabnya maka Pangeran Adipati menamakan tempatnya itu dengan Kuta Teringin, yang berubah menjadi Kutaringin serta kemudian akhirnya menjadi Kotawaringin.
                Setelah mendapat restu dari kakaknya Sultan Inayatullah, maka Pangeran Adipati Antakesuma mema’zul (bahasa Arab : mengangkat dengan banyaknya dukungan atau kekuatan) kan dirinya sebagai raja yang pertama dari kerajaan Kotawaringin dengan gelar Ratu Bagawan. Daerah kekuasaan kerajaan Kotawaringin meliputi sungai Mendawai (sungai Katingan) di sebelah Timur, sungai Sampit (sungai Mentaya), sungai Pembuang (sungai Seruyan), sungai Kumai, sungai Lamandau dan anaknya sungai Arut, hingga sungai Jelai di sebelah Barat.
                Untuk melindungi kerajaan Kotawaringin, para pengikutnya yang setia dan digjaya duduk bersamadi hingga gaib, pada beberapa pojok tertentu dari wilayah kerajaan tersebut dengan radius sekitar lima kilometer. Mereka itu adalah Datu  Batu Hitam, Raden Tukas Banua, Galeger Bosi, Puteri Emek-emek, Rangga Santrek, Rantai Wulung dan Simpai Dudung.
                Menjelang akhir hayatnya Ratu Bagawan (Pangeran Adipati Antakesuma) menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya Pangeran Mas Dipati, sedangkan mangkubumi masih dijabat oleh Kiai Gede. Kemudian Ratu Bagawan pulang ke Bandar Masih, meninggal dalam usia tuanya serta dikuburkan dalam satu kompleks makam dengan moyangnya Sultan Suriansyah, raja kerajaan Banjar yang ke delapan di kampung Kuin Utara, kabupaten Banjar provinsi Kalimantan Selatan.      (*)(*)

Kamis, 20 Maret 2014

Kutukan di Dusun Dahian Undang

 
Akhirnya keluarga masing-masing kedua ayah anak itu saling berhadapan dan berkelahi dengan serunya. Keadaan menjadi semakin ramai karena teman-teman setiap keluarga turut membantu dan jadilah perkelahian ini menjadi perkelahian antara dua kelompok

Lebih dari tiga ratus tahun yang lalu di tepi sungai Katingan terletaklah dusun Dahian Undang. Suatu ketika kemarau panjang melanda sungai Katingan ini, sungai-sungai kecil dan bendar-bendar yang terletak di antara pepohonan sudah mengering. Di beberapa tempat di perairan sungai Katingan gosong bermunculan dan sungai dapat diseberangi hanya dengan berjalan kaki, sebab airnya hanya tenggelam setengah betis saja.
Di suatu senja hari penduduk Dahian Undang seluruhnya meluruk menonton suatu keadaan di seberang sungai atau tempat kediaman mereka itu. Sekitar lebih dari tiga puluh ekor orang hutan berada di tepi sungai, nampaknya mereka ingin minum. Hal seperti ini biasa selalu terjadi di mana kawanan satwa berbondong-bondong ke tepi sungai mencari air, apalagi dalam musim kering seperti ini.
Tetapi kali ini setelah minum sepuas-puasnya, orang hutan-orang hutan itu tidak segera kembali ke dalam rimba. Mereka bermain perang-perangan dengan saling melontarkan tombak dari batang tumbuhan bamban (sejenis tumbuhan rawa yang berba-tang lurus, kulitnya luarnya licin; biasa kulit luar yang licin ini diambil, dikeringkan dan dianyam menjadi bakul untuk mencuci beras), layaknya seperti yang dilakukan manusia dalam upacara laluhan (perahu yang mengantarkan bantuan bahan makanan dan sebagainya dari suatu desa untuk upacara tiwah di sebuah desa; desa yang dibantu menyambut kedatangan bantuan dengan acara menombaki perahu itu dan saling berbalasan). Perbuatan mereka itu sangat lucu karena gerakannya sangat menggelikan, hingga anak-anak senang melihatnya.
Memang di seberang dusun itu banyak tumbuh batang bamban. Biasanya warga memotongnya dahulu kemudian menjemurnya di atas pasir gosong sungai, lalu beberapa hari kemudian mengambilnya setelah agak kering.
Bamban yang sudah terpotong inilah yang digunakan orang hutan itu sebagai tombak. Esok harinya kembali orang hutan-orang hutan itu datang ke tepi sungai untuk minum dan bermain-main. Orang banyak sedusun, di tepi sungai seberang sini, tua muda besar kecil lelaki maupun perempuan, berkerumun untuk menyaksikan perbuatan orang hutan-orang hutan tersebut. Setelah semuanya minum, nampaknya mereka mau bermain-main lagi seperti kemarin. Tombak batang bamban mulai meluncur saling berbalas.
Namun mendadak terjadi perubahan. Jerit kegembiraan mereka berubah menjadi kegusaran, yang dilanjutkan dengan saling gigit dan terkam di antara mereka. Terjadilah perkelahian antara dua kelompok yang berlangsung semakin seru.
Sebagian mulai berjatuhan tewas akibat gigitan dan rangkulan yang meremukkan tulang. Akhirnya tinggal dua ekor yang terbesar saling berhadapan, yang kesudahannya sama-sama rebah terkapar berlumuran darah. Mayat mereka bergelimpangan di atas gosong tepi sungai. Penduduk Dahian Undang yang menonton, sempat ternganga melihat kejadian itu. Selanjutnya mereka lalu beramai-ramai menyeberang untuk mengetahui apa penyebabnya.
Ternyata semua yang tewas itu berkelamin jantan, tidak terdapat betina dan anak-anak. Dan ketika diteliti ternyata di antara tombak-tombak batang bamban itu terdapat beberapa batang yang benar-benar tombak, dengan ujungnya dari besi yang tajam dan mematikan. Seorang di antara para pemuda penduduk dusun Dahian Undang itu mengaku bahwa dia telah meletakkan beberapa batang tombak yang benar di antara rumpun-rumpun bamban tersebut sebelumnya.
“Sengaja kuletakkan beberapa batang tombak milik kami di tempat mereka mengambil batang bamban. Maksudku hanyalah agar pertempuran pura-pura itu menjadi lebih seru. Lagi pula mata tombak kami ujungnya dapat tercuci dengan darah sebab mulai karatan”, ujar Parek mengaku. Orang banyak tertegun mendengar penjelasannya.
Malam harinya pemuda usil itu bermimpi. Ia dijumpai seorang lelaki tua gundul, yang mendekatinya lalu berkata : “Kami tidak pernah mengganggu kehidupan kalian di dusun seberang. Perbuatan kami hanya untuk bersenang-senang melupakan kesulitan hidup menghadapi kemarau panjang ini. Sampai hatimu menyelipkan tombak yang benar di antara batang bamban itu, hingga kami terluka dan berkelahi sesama kami. Seluruh orang hutan dewasa di kelompok kami telah mati ulah perbuatanmu. Kalian kelak akan mengalami hal yang sama seperti yang kami alami siang tadi !”
Sehabis ucapan orang tua itu Parek terbangun karena suara guntur yang menggemuruh disertai tiupan angin kencang. Parek duduk termenung memikirkan mimpinya itu hingga malam menjelang siang.
Pagi harinya Parek menceriterakan mimpinya itu pada teman-temannya. Beberapa orang tua yang kebetulan hadir tertarik mendengarnya dan ingin merundingkannya lebih lanjut guna membahas cara menghadapi kutukan itu.
Tetapi ayah Parek, pemuda usilan itu, malah menghardik anaknya dan nampak tak mau bertanggung jawab. Ia lalu berkata : “Engkau keterlaluan, sudah kau kacaukan permainan orang hutan menjadi ajang kematian mereka. Sekarang kau ingin mengajak orang sedusun untuk berpesta menolak bala. Hai sekalian warga jangan pedulikan ocehannya !”
Musim kemarau telah berlalu, peristiwa itu terlupakan dengan tidak terlihatnya tanda-tanda adanya kesulitan. Panen menjadi (berhasil) dilanjutkan dengan musim durian yang lebat. Warga dusun Dahian Undang itu bersatu kata bulat mufakat untuk melaksanakan hajat mengadakan pesta syukur kepada Sangiang – Jata (nama penguasa alam atas dan alam bawah) yang telah memberkahi mereka dengan hasil panen yang melimpah. Upacara balian sahur dilaksanakan selama tiga hari tiga malam, tujuh tetuha memukul gendang sambil melantunkan nyanyian hikmat mengenai perjalanan para dewa.
Selesai upacara dilanjutkan dengan minum-minum baram (sejenis tuak) tanpa pandang bulu dan jenis kelamin. Sulang menyulang antara lelaki dan wanita dengan kapasitas paling tidak seorang menghabiskan isi sepasang tanduk kerbau.
Sedangkan bocah-bocah berusia di bawah belasan tahun lain pula ulahnya. Ada yang bermain gasing, balogo (kepingan tempurung kelapa) dan mengadu jangkerik.
Mendadak di kelompok anak-anak yang mengadu jangkerik gempar. Seorang bocah keluar dari kerumunan seraya menangis tersedu-sedu dengan jari telunjuknya berdarah.
“Jari telunjuk Tengang digigit jangkeriknya Buhis”, kata seorang anak menjelaskan kepada kelompok yang berdatangan ingin tahu.
Namun ada lagi yang menambahkan dengan tujuan agar lebih ramai saja yakni : “Buhis menggigit jari telunjuk Tengang hingga hampir putus”.
Tengang masih saja menangis dan malah semakin keras. Di antara anak-anak itu ada yang usil mendengarnya, sebab itu ia lalu berteriak berkali-kali dengan kata-kata yang berlebihan : “Buhis menggigit telunjuk Tengang sampai putus !”
Saat itu kebetulan ayah Tengang keluar dari betang hendak buang air kecil. Terdengar olehnya, yang dalam keadaan mabuk itu, suara teriakan-teriakan itu. Dikiranya hal ini benar-benar terjadi. Setelah melaksanakan hajatnya segera ia mendekati kelompok anak-anak itu. Di waktu yang bersamaan ia berpapasan dengan Buhis yang keluar dari kelompok itu ingin menjauh.
Tanpa ba bu lagi Buhis lalu ditamparnya dan ditendangnya berkali-kali tanpa kasihan. Buhis menjerit kesakitan dan akhirnya jatuh pingsan.
Ayah Buhis yang juga mabuk, keluar dan sempat melihat kejadian itu. Ia mendekati ayah Tengang seraya berkata : “Apa sebabnya kau menyakiti anakku ?”
“Anakmu sudah menggigit putus jari anakku !” jawab ayah Tengang ketus.
“Keterlaluan kau pahari (saudara), beraninya hanya dengan anak kecil. Kalau sampai anakku mencederai anakmu, masih ada penyelesaiannya dengan baik”, kata ayah Buhis lagi.
Seorang adik ayah Buhis dengan garang berkata : “Jangan banyak bicara lagi. Labrak saja ! Anakmu sudah pingsan dibuatnya”.
Akhirnya keluarga masing-masing kedua ayah anak itu saling berhadapan dan berkelahi dengan serunya. Keadaan menjadi semakin ramai karena teman-teman setiap keluarga turut membantu dan jadilah perkelahian ini menjadi perkelahian antara dua kelompok. Beberapa orang yang datang dengan niat untuk melerai perkelahian itu, menjadi terlibat dalam perkelahian, karena disangka datang untuk membantu salah satu pihak.
Perkelahian tangan kosong akhirnya meningkat menjadi perkelahian bersenjata. Badik, mandau, duhung, tombak sampai serapang penusuk ikan sungai dan alu penumbuk padi dimainkan kedua belah pihak. Jeritan anak-anak dan kaum wanita bercampur dengan pekik kemarahan dan kesakitan dari mereka-mereka yang sedang mengamuk. Mereka berkelahi bagaikan kesetanan, saling kejar dan jika terjatuh pasti dicencang lumat.
Beberapa jam kemudian perkelahian berhenti dengan sendirinya, tidak ada lagi yang sanggup meneruskannya. Semua lelaki sudah bergelimpangan di sana sini dalam keadaan tidak bernyawa, sedang sekarat atau terluka parah.
Tangisan kehilangan bergema di udara senja dari wanita kematian suami, ibu kematian anak dan gadis kematian kekasihnya. Suara gandang (gendang) dan garantung (gong) beberapa hari sebelumnya, yang mengiringi suasana kegembiraan, berubah menjadi irama yang mengiringi penjemputan oleh sakaratul maut dan kepergian roh-roh.
Penduduk desa yang berdekatan lalu berdatangan untuk menyatakan bela sungkawa dan membantu merawat yang terluka parah serta menguburkan yang tiada bernyawa. Awan duka menyelimuti dusun itu.
Sejak itu dusun Dahian Undang ditinggalkan penghuninya yang masih hidup, terutama wanita dan anak-anak, menyebar ke desa-desa sekitarnya serta kampung-kampung lain yang terikat hubungan keluarga. Diperkirakan dusun ini dahulu tidak jauh letaknya dari desa Dahian Tunggal sekarang, termasuk dalam wilayah kecamatan Pulau Malan.
Nama Dahian Undang sendiri berasal dari kata Dahian yang artinya durian (buah duren), sedangkan Undang adalah nama jenis buah durian yang sangat enak, tebal daging buahnya serta manis. ***

Senin, 10 Maret 2014

Habukung Dalam Upacara Kematian

Bukung
Dalam suatu upacara kematian di beberapa daerah yang ada di kalimantan Tengah, ada dikenal suatu acara yang disebut dengan Habukung. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh agama Hindu Kaharingan mengenai latar belakang diadakannya Upacara Ritual Habukung yaitu berawal dari suatu legenda pada zaman dahulu kala pada sebuah dusun atau pemukiman yang terdiri dari 7 (tujuh) buah rumah, terjadilah suatu peristiwa yang menimpa seorang pemuda dusun tersebut yang baru saja membina rumah tangga kurang lebih berjalan 1 (satu) tahun. Pada hari itu terjadilah suatu musibah yang tidak disangka-sangka, istrinya yang sedang menggandung sekitar 7 bulan , tiba-tiba meninggal dunia. Karena istrinya meninggal dunia tersebut, sang suami sangat bersedih sekali dan selalu menangis sambil memeluk mayat istrinya. Dan selama itu juga sang suami tidak mau makan dan berbicara dengan siapa pun. Orang tua dan pihak keluarga pemuda tersebut selalu berupaya untuk menesehati pemuda tersebut agar mayat istrinya segera dimakamkan, tetapi tidak ada jawaban yang keluar dari mulut pemuda tersebut dan ia pun tetap berbaring sambil memeluk mayat istrinya.

Pihak keluarga mulai gelisah guna mencari jalan keluar untuk membujuk sang pemuda tersebut agar mau memakamkan istrinya, dan kurang lebih berjalan 15 (lima belas) hari, pada suatu malam ayah sang pemuda bermimpi bertemu seseorang dan orang tersebut berkata kami akan menolong bapak untuk menghibur anak bapak yang ditinggalkan istrinya dengan cara berangsur – angsur dan beritahu kepada penduduk lainnya jangat takut atas kedatangan kami yang aneh-aneh. Setelah terbangun pada pagi harinya, maka sang ayah segera bangun untuk memberitahukan mimpi tersebut kepada warga setempat.

Pada malam harinya sekitar pukul 21.00, terdengarlah suara gemuruh dan derap-derap kaki dan diselingi suara musik gong dan lainya, kemudian muncullah orang banyak sekali memakai suatu topeng yang terbuat dari kayu Palawi. Topeng inilah yang disebut dengan Bukung. Sambil membunyikan alat-alat musik dan disertai dengan berbagai macam tarian sambil membunyikan bamboo yang dibuat sedemikian rupa yang disebut dengan “Selekap”. Tarian tersebut dibuat dengan gaya yang lucu-lucu sehingga membuat orang yang melihat terhibur dan tertawa-tawa.

Begitulah bukung tersebut datang setiap malam, sehingga sang pemuda yang istrinya meninggal tersebut berangsur-angsur membaik sudah mau makan dan berbicara dengan orang lain.

Bukung – bukung itu datang setiap malam sambil membawa uang, barang- barang lainya yang akan disumbangkan kepada keluarga yang mengalami musibah menginggal dunia tersebut. Hal ini berlangsung selama beberapa malam, sehingga bermacam-macam bentuk dan pakaian yang dipakai serta sda yang membungkus dirinya dengan rumput, daun pisang dan lain-lain. Selama beberapa malan tersebut setelah adanya bukung tersebut, maka banyak sekali barang-barang sumbangan yang diberikan menumpuk seperti beras, gula, kopi, ayam, babi dan lainnya.

Selanjutnya pada suatu malam pihak keluarga sang pemuda memyampaikan kepada pemuda yang istrinya meninggal dunia rencana untuk memakamkan istrinya. Hasilnya sang suami setuju untuk memakamkan istrinya sampai pada ketentuan bahwa keluarga harus menyiapkan biaya untuk pelaksanaan penguburan dengan bantuan bukung tadi (biaya yang sudah ada). Menyelang hari pelaksanaan pemakaman bukung berjalan terus tiap malam tanpa henti. Tepat pada hari pemakaman, bukung terus diadakan sampai peti jenasah (raung) dibawa ke liang lahat (dikuburkan). Dan bukung yang terakhir ikut mengangkat dan membawa peti jenasah ke kuburan, bukung yang ikut mengangkat peti jenasah tersebut yaitu bukung kinyak atau bukung belang.****

Rabu, 05 Maret 2014

Sumpah Setia (Dayak Ngaju)

Berani bersumpah untuk menyatakan kesetiaan berarti berani menanggung resiko apabila mengingkari sumpah yang telah diucapkan. Apabila ia tidak setia kepada sumpahnya, maka ia berani tanggung resiko bagai rotan yang terpotong, yang berarti nyawanya pun akan terpotong, siap sewaktu-waktu nyawa terputus dari badan. Demikian makna dan resiko sumpah setia bagi suku Dayak.

Sumpah setia yang dilakukan oleh suku Dayak kepada pemimpin mereka, biasanya diadakan dengan saling menukar darah yang biasa disebut hakinan daha hasapan belum, yang kemudian pada pergelangan tangan diikatkan lamiang atau lilis. Setelah itu memotong rotan, menaburkan beras kuning, menabur abu, garam, Kemudian ibu jari tangan kanan dilukai sedikit hingga mengeluarkan darah. Upacara ini dilaksanakan sebelum pukul 12.00 siang hari. Disini makna darah manusia yang menetes keluar dari ibu jari kanan merupakan lambang bakti yang setinggi-tingginya.

Persyaratan yang diperlukan :
  • Rotan
  • Beras
  • Abu Dapur
  • Garam
  • Parang atau sejenis pisau berukuran besar sebagai alat pemotong
  • Kayu persegi atau bulat untuk alas pemotong rotan
  • Kunir
  • Minyak kelapa
Cara pelaksanaannya :

Sebelum seseorang menyatakan sumpahnya, terlebih dahulu ia berdiri ke arah matahari terbit, yaitu Timur. Petugas pelaksana akan menaburkan beras ke segala arah, dengan maksud agar Penguasa Alam, Hatalla Raja Tuntung Matanandau Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan yang tinggal di langit ketujuh, berkenan mendengarkan janji atau sumpah yang akan diucapkan. Setelah itu, yang bersumpah berbalik arah menghadap matahari terbenam dan pelaksana upacara menaburkan abu, garam, dan beras di belakang orang yang bersumpah. Apabila dia yang bersumpah tidak berkata benar, maka sebagai abu yang terbang berhamburan di bawa angin, begitu pula kehidupannya nantinya akan sia-sia dan terkutuk, hancur seperti garam yang terbang dan menguap.

Setelah itu, dia yang disumpah berbalik arah lagi menghadap matahari terbit, kemudian petugas penyumpahan dan dia yang disumpah mengambil posisi duduk, tangan keduanya memegang rotan sebelah menyebelah. Sebelum rotan di potong, dia yang disumpah harus berani mengatakan:

Apabila ia tidak setia kepada sumpahnya, maka ia berani tanggung resiko bagai rotan yang terpotong, yang berarti nyawanya pun akan terpotong, siap sewaktu-waktu nyawa terputus dari badan. Pada saat upacara berlangsung, para pemimpin lain dan masyarakat yang menghadiri upacara sebagai saksi juga berdiri berhadapan dengan orang-orang yang bersumpah, untuk berpartisipasi sebagai saksi.

Dengan perantaraan roh beras yang ditabur-taburkan dan yang berada di langit ke tujuh, memohon untuk menyampaikan pesan manusia kepada Ranying Hatalla untuk meyaksikan sumpah yang sedang berlangsung.

Apabila dia yang bersumpah tidak setia, tidak jujur dan hanya berpura-pura, maka, bagaikan abu, hidupnya terbang ditiup angin, akan hancur seperti garam, dan nafasnya akan terputus bagai rotan yang terpotong. Akan tetapi apabila orang yang bersumpah setia, rajin dan jujur untuk selamanya, maka ia akan mendapat untung panjang, hidup senang, umur panjang, dapat berkat dan banyak rezeki.

Sumber : www.nila-riwut.com

Selasa, 25 Februari 2014

Dahiang atau Petanda (2)

Suku Dayak khususnya di daerah Kalimantan Tengah meyakini bahwa raja penjaga dahiang yang bertempat tinggal pada langit keenam, bertugas memberi perintah kepada jenis-jenis binatang tertentu yang berada di dunia agar memberikan pertanda kepada manusia di dunia.

Jenis-jenis hewan yang ditugaskan memberi petanda, antara lain :




Handipe atau ular
Jenis-jenis ular yang dianggap mampu memberikan pertanda kepada manusia ialah :
Panganen atau ular sawah Apabila ditemukan ular sawah yang bertelur dalam sebuah rumah atau di lumbung padi ataupun dalam kandang ayam, pertanda bahwa pemiliknya akan memperoleh kesenangan.
Hanjaliwan atau sejenis ular kobra Apabila ular hanjaliwan masuk ke sebuah rumah bahkan memasuki kamar tidur, menandakan bahwa ada seorang yang akan bermaksud jahat bahkan hingga mengakibatkan kekacauan.
Ular Tanunung Bertemu ular yang sedang berenang dari arah kanan ke arah kiri pertanda tidak baik, namun sebaliknya apabila yang berenang tersebut adalah ular tanunung dan arah berenang dari kiri ke kanan pertanda baik. Dalam suatu perjalanan di hutan kemudian bertemu ular tanunung sedang berkelahi dengan ular depung pertanda keuntungan besar kan segera di peroleh.
Ular Depung Ketika sedang berjalan kaki dalam hutan, bertemu ular tanunung yang sedang berkelahi dengan ular depung, pertanda baik, keuntungan besar segera akan diperoleh.

Bajang/Bengau atau Rusa





Beberapa pertanda yang diberikan oleh bajang, bengau atau rusa ialah :
Bertemu rusa berenang menyeberang dari kanan ke kiri, ketika sedang mengendarai perahu, pertanda perjalanan akan tidak mulus karena akan mendapat gangguan orang atau akan menderita sakit dalam perjalanan.
Bila bertemu rusa sedang menyebrang di depan perahu dari kiri ke kanan, pertanda yang diberikan sangat menyenangkan karena niat perjalanan berhasil baik dan mendapat keuntungan.
Di malam hari terdengar suara rusa menukiu atau bersuara nyaring namun sangat singkat dan suara itu terdengar dari arah sebelah kiri rumah juga ditemukan ada pohon yang dahannya patah, pertanda tetangga kampung atau bahkan salah seorang penghuni rumah akan mengalami sakit keras bahkan mungkin sampai meninggal dunia.
Apabila terdengar suara rusa dari belakang rumah dan disahut oleh rusa lainnya dari arah depan rumah, pertanda tamu dari jauh yang tidak diduga akan datang. Menemukan tanduk rusa yang telah terlepas di ladang/sawah, pertanda baik, berarti sawah akan mendapatlkan panen yang berlimpah.

Kakupu atau Kupu-kupu
Peran kakupu atau kupu-kupu dalam memberikan pertanda :
Kupu-kupu yang terbang masuk rumah, kemudian terbang lagi masuk dalam kamar tidur bahkan hinggap di tempat tidur, pertanda ada tamu yang datangnya dari jauh dan akan menginap di rumah tersebut.
Bila kupu-kupu menempel di pintu depan rumah, pertanda akan kedatangan tamu dari sekitar kampung dan tamunya tidak menginap.
Kupu-kupu yang terbang masuk rumah, bahkan hinggap di kepala dan tangan, pertanda keluarga dekat dengan keperluan penting akan datang mengunjungi.

Asu atau Anjing
Saat berburu dan mengajak anjing, kemudian anjing yang sedang berlari tiba-tiba berhenti sambil menurunkan ekornya ke bawah dan mengeluarkan suara ngirrrr…ngirrr, pertanda mahluk halus atau orang gaib berada disekitar anjing tersebut.

Pusa atau Kucing

Kucing menyaup yang artinya menggosok-gosokkan tangan di mukanya pertanda akan ada tamu berkunjung. 


dahiang atau petanda

Dahiang atau Petanda

Dahiang atau Petanda

Suku Dayak khususnya di daerah Kalimantan Tengah meyakini bahwa raja penjaga dahiang yang bertempat tinggal pada langit keenam, bertugas memberi perintah kepada jenis-jenis binatang tertentu yang berada di dunia agar memberikan pertanda kepada manusia di dunia.

Jenis-jenis hewan yang ditugaskan memberi petanda, antara lain :

Burung
Antang Bahandang atau burung elang merah Cara terbang dan suara Antang atau Burung Elang memiliki arti khusus bagi orang Dayak. Lebih-lebih pada burung elang yang berwarna merah. Contoh gerakan tersebut antara lain: Apabila orang Dayak sedang mudik menumpang perahu, dalam perjalanan tiba-tiba berjumpa burung elang yang terbang dari arah kanan menuju ke arah kiri di depan perahu mereka, bisa jadi mereka balik kanan untuk membatalkan perjalanan tersebut karena burung elang telah memberikan peringatan kepada mereka bahwa di depan mereka ada bahaya menghadang. Apabila arah terbang Burung Elang dari kiri menuju ke arah kanan akan tetapi tanpa mengepakkan sayapnya, dan gaya terbang elang tersebut biasanya disebut sebagai elang menari, lalu terbang terus menuju ke udik baru kemudian terbang menuju arah perahu yang sedang mereka tumpangi. Inilah pertanda baik. Artinya niat yang ingin dicapai akan mendapatkan hasil maksimal. Apabila arah terbang Elang dari depan perahu menuju ke belakang dan tiba-tiba menangis, maksudnya elang tersebut mengeluarkan suaranya, serta menjatuhkan diri arah ke bawah, pertanda yang diberikan menyatakan bahwa di belakang mereka telah terjadi kecelakaan dan mungkin saja kecelakaan tersebut akan menimpa mereka pula. Bila di sebelah kiri perahu ada seekor elang sedang terbang, tiba-tiba dari arah kanan muncul lagi seekor elang yang langsung menyambar elang yang sedang terbang di sebelah kiri perahu hingga terjatuh, pertanda ini menyatakan bahwa akan terjadi kesalah pahaman dan perselisihan sepulang mereka dari perjalanan ini, namun kemenangan ada di pihak mereka. Bila munculnya elang dari arah belakang perahu, kemudian terbang searah menyertai perahu namun tiba-tiba menangis, Pertanda yang diberikan menyatakan bahwa tujuan perjalanan akan berhasil namun sekembalinya dari perjalanan, kesusahan bahkan mungkin akan menderita sakit akan dialami. Terbangnya elang dari sebelah kiri kemudian terbang menuju arah kanan dan tiba-tiba mundur ke belakang, bahkan menangis dan menjatuhkan diri, berarti waspada. Bahaya akan segera menimpa mereka. Sebaiknya bila menerima pertanda demikian, batalkan perjalanan minimal tiga hari istirahat di rumah, baru mengadakan perjalanan lagi. Tangis burung elang terdengar di waktu malam pertanda kerusuhan bakal terjadi di kampung sekitar. Seekor elang tiba-tiba terbang sambil menangis masuk ke dalam rumah, pertanda pemilik rumah harus waspada karena ada seorang penghianat yang akan membuat keonaran di rumah tersebut. Bila dalam suatu upacara tiba-tiba muncul seekor burung elang dan terbang melayang di atas lokasi upacara, kemudian menjatuhkan dirinya hingga nyaris menyentuh bumbungan rumah, pertanda akan terjadi kerusuhan dengan pertumpahan darah.

Burung Pantis, Burung Bakutok, Burung papau, dan Burung Salehei
Keempat jenis burung ini bulunya berwarna hitam, dan biasanya orang Dayak tidak pernah membunuh apalagi menyantapnya. Jenis burung ini banyak ditemukan di hutan atau di hulu sungai dan jenis ulat-ulatan adalah makanannya. Kebersatuan dengan alam menyebabkan leluhur orang Dayak sangat memperhatikan dan selalu mengamati dahiang dan segala pertanda alam di sekitarnya. Demikian juga dari gerakan dan suara burung, mereka mampu membedakan bagaimana suara burung yang menunjukkan kegembiraan atau tertawa dengan suara burung yang menyatakan kesedihan atau menangis, dan kadang-kadang mereka menyaksikan burung yang pingsan mendadak, hal tersebut juga mempunyai arti tertentu. Apabila salah satu dari keempat jenis burung ini muncul di suatu kampung atau terbang melewati bawah rumah penduduk, karena dimasa lalu rumah-rumah penduduk berukuran tinggi, untuk menghindari banjir dan binatang buas, maka burung tersebut memberikan pertanda tidak menyenangkan bagi penduduk kampung tersebut. Begitu pula apabila orang Dayak pergi berburu masuk ke dalam lebatnya hutan, kemudian mereka mendengar bunyi suara burung pantis, mula-mula suara burung terdengar disebelah kiri mereka kemudian terdengar lagi suara burung itu dari sebelah kanan mereka, pantis tujuh, pertanda perburuan akan mengalami kegagalan bahkan bencana akan menimpa. Sebaiknya perburuan dibatalkan. Namun apabila yang terdengar adalah suara burung bakutok yang bunyinya terdengar dari sebelah kiri kemudian terdengar lagi disebelah kanan mereka, pertanda baik yang diberikan oleh suara burung bakutok tersebut.

Burung Hantu Ada beberapa jenis burung hantu, diantaranya: burung hantuguk atau burung kukut, yang bersuara kooook…kooook…kooook, burung kangkamiak dan burung kambe. Burung berukuran besar dan berwajah kucing serta berbola mata besar berparuh pendek, berkuku panjang, dan hidup di dalam lebatnya hutan rimba belantara Kalimantan dan hanya muncul di malam hari. Burung jenis ini sangat ditakuti karena dapat memakan manusia dan binatang yang di incarnya. Burung hantu termasuk jenis burung yang ditakuti karena menurut keyakinan ke tiga jenis burung yang yang disebutkan tadi dapat menjelma menjadi perempuan. Itulah sebabnya apabila pada malam hari terdengar suara salah satu dari ke tiga jenis burung tersebut, tanpa membawa daun sawang dan beras kuning, orang Dayak segan untuk keluar rumah. Apabila di malam hari di sekitar rumah penduduk terdengar suara burung hantaguk atau burung kukut menandakan bahwa salah seorang penduduk kampung akan meninggal dunia. Bila tiga malam berturut-turut terdengar suara burung hantaguk, tanda bahwa kampung akan diserang wabah penyakit. Namun apabila burung tersebut hinggap pada salah satu rumah penduduk, berarti salah seorang tetangga akan meninggal dunia. • Burung Kulang Kulit Sejenis burung hantu yang biasanya berkelompok dan kemunculannya di malam hari. Biasanya apabila kelompok burung kulang kulit muncul, tidak lama kemudian muncul mahluk halus.

Burung Kaut Sekalipun burung kaut merupakan salah satu jenis burung hantu, namun kehadirannya dapat memberikan pertolongan kepada manusia. Apabila pada sebuah ladang ditemukan sarang atau telur burung kaut, pemilik ladang akan merasa sangat bersyukur karena keuntungan akan diperoleh. Oleh karena itu sajen yang diletakkan di ancak atau kalangkang atau tempat sajen digantungkan di bawah sarang burung agar dapat dimakan oleh burung kaut tersebut. Diyakini roh burung kaut akan berperan dan turut serta merawat dan menjaga padi yang sedang tumbuh.

Burung Enggang atau Tingang
Jenis burung ini pantang dimakan, karena dapat menyebabkan lepra basamah atau sakit lepra. Suatu hal yang unik apabila memasak daging burung tersebut pada sore hari, maka pada pagi harinya daging burung tersebut sudah keluar hama.
 

Makna Mimpi (dayak)


Orang Dayak meyakini bahwa mimpi merupakan realitas yang bermakna bagi kehidupannya, sehingga mimpi memiliki arti tertentu. Beberapa contoh arti mimpi :

Jenazah. Mimpi melihat jenasah artinya akan mendapat keuntungan.

Darah
. Mimpi melihat darah berarti waspada, darah keluar karena cekcok atau adanya dendam. Bisa dinetralisir dengan dipalas yaitu diusap dengan darah ayam 

Gigi. Mimpi gigi atas tanggal, berarti kenalan atau sanak keluarga yang usianya lebih tua akan meninggal dunia.

Bulan. Mimpi melihat bulan berarti akan bertunangan.

Cincin Mimpi memakai cincin berarti seseorang telah terluka dan sakit hati akibat ulah kita.

Pakaian Putih. Mimpi berpakaian putih berarti akan mengalami sakit keras.

Pakaian Hitam. Mimpi berpakaian hitam berarti akan mengalami sakit keras yang mungkin membawa kematian.

Menjala Ikan. Mimpi menjala ikan berarti akan mendapatkan rezeki.

Sakit. Mimpi sakit berarti lawannya, yaitu sehat walafiat.

Naik Gunung. Mimpi naik gunung berarti akan naik pangkat.

Jatuh. Mimpi jatuh berarti akan mendapat malu

Ular. Mimpi ular berarti akan mendapat godaan lawan jenis.

Buaya. Mimpi membunuh buaya berarti akan mendapatkan lawan yang tangguh.

Anak Burung. Mimpi mendapatkan anak burung berarti dalam waktu dekat akan punya anak.

Ayam. Mimpi menangkap anak ayam berarti dalam waktu dekat akan punya anak.

Perahu. Mimpi naik perahu berarti akan menderita sakit.

Terbang. Mimpi terbang berarti akan mendapat keuntungan.

Makan. Mimpi makan berarti akan menderita sakit perut.

Telanjang. Mimpi telanjang berarti akan mendapatkan malu.

Sapi
. Mimpi dikejar sapi berarti akan menderita sakit.

Kerbau. Mimpi dikejar kerbau berarti akan menderita sakit.

Berenang. Mimpi berenang berarti akan menderita sakit.

Catatan:
Biasanya kalau kita mimpi yang tidak baik, untuk menetralakan mimpi tersebut dengan :
Pada saat trbangun dari mimpi, saat itu juga memotong ujung rambut langsung dikubur atau di letakan di atas tanah...

Rabu, 19 Februari 2014

Tetek Pantan

Tetek Pantan (Potong Pantan)


Dalam Bahasa Dayak Ngaju, kata Tetek artinya potong dan Pantan berarti penghalang. Meskipun tidak semua Acara Tetek Pantan tersebut adalah memotong penghalang, namun istilah Tetek Pantan merupakan istilah populer untuk acara tersebut.

Menyambut tamu dengan pantan adalah dengan membangun suatu pintu gerbang yang dihiasi dengan janur dan berbagai macam bungs. Pada pintu gerbang tersebut ditempatkan "pantan". Setelah "pantan" dipotong atau dibuka barulah tamu tersebut dipersilahkan memasuki tempat acara.

Dalam Adat Dayak Ngaju terdapat 7 (tujuh) macam "pantan" sebagai berikut :

1. Pantan Kayu
Untuk bahan pantan kayu dipilih jenis kayu lemah dengan ukuran diameter ± 10-15 cm dan panjang ± 3 meter.
Kayu tersebut ditempatkan menghalang jalan masuk tamu pada pintu gerbang. Biasanya sebelum dipotong oleh tamu, kayu pantan tersebut ditutupi terlebih dahulu dengan kain batik panjang (bahalai).
Acara Tetek Pantan tersebut dipimpin oleh Damang Kepala Adat. Apabila Damang Kepala Adat berhalangan dapat diganti oleh Tokoh Adat lainnya. Setelah "bahalai" diangkat dari atas kayu pantan, Damang Kepala Adat menyerakan sebuah "mandau" sebagai alat pemotong pantan. Menggunakan mandau tersebut, tamu terhormat dipersilahkan memotong kayu pantan sampai putus.
Sebelum acara "Tetek Pantan" dimulai dan sembari pemotongan pantan oleh tamu, terjadi dialog antara Damang Kepala Adat dengan Tamu Terhormat tersebut berkisar tentang maksud dan tujuan kedatangan sang tamu.
Setelah pantan terpotong barulah tamu dan rombongan dipersilahkan berjalan masuk kearena Acara Penyambutan dipintu masuk tamu terse-but di "tampung tawar" oleh Damang Kepala Adat.

2. Pantan Tewu
Bahasa Dayak Ngaju kata "Tewu" berarti tebu. Acara pantan tewu ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Ngaju di wilayah Sungain Katingan. Rangkaian acara sama seperti pelaksanaan pantan kayu.

3. Pantan Garantung

Garantung berarti gong. Jadi dalam Pantan Garantung, benda yang menjadi penghalang dipintu gerbang adalah beberapa buah gong ; jumlahnya antara 3 (tiga) buah, 5 (lima) buah atau 7 (tujuh) buah garantung. Garantung di jejerkan dipintu gerbang acara dan ditutup dengan kain batik panjang (bahalai).
Pertama-tama sang tamu mengangkat kain batik panjang (bahalai) terse-but, kemudian memindahkan semua gong tersebut kepinggir jalan. Setelah itu tamu dan rombongannya dipersilahkan masuk ketempat acara penyambutan.

4. Pantan Balanga

Balanga adalah guci yang mahal buatan Cina berasal dari Dinasti Ming atau Dinasti Ching. Jumlah balanga yang dipergunakan sebagai alat pantan antara 3 (tiga) balanga, 5 (lima) balanga atau 7 (tujuh) balanga.
Diatas permukaan balanga ditutup dengan kain batik panjang (bahalai). Sang tamu berkewajiban mengangkat kain bahalai tersebut dari permukaan balanga, kemudian memindahkan seluruh balanga tersebut kesamping. Setelah itu para tamu dipersilahkan memasuki tempat acara penyambutan tamu.

5. Pantan Garantung dan Balanga
Barang untuk pantan berupa beberapa buah garantung (gong) dan beberapa buah balanga (guci).
Tamu Terhormat tersebut pertama-tama memindahkan kain batik panjang (bahalai) dari permukaan garantung dan balanga, kemudian memindahkan semua garantung dan balanga tersebut kesamping, setelah itu Damang Kepala Adat mempersilahkan tamu dan rombongan memasuki arena penyambutan tamu.

6. Pantan Timpung
Bahan pantan timpung adalah kain yang dipasang seperti gorden pintu. Pada kedua sisi bagian tengah kain tersebut disatukan dengan benang. Sang Tamu harus memotong benang tersebut dengan menggunakan gunting atau alai pemotong lainnya sehingga kain pantan dapat terbuka. Setelah itu Damang Kepala Adat mempersilahkan tamu dan rombongannya memasuki arena penyambutan.

7. Pantan Bulan
Dewasa ini pantan bulan lebih merupakan legenda saja oleh karena tidak pernah lagi dilaksanakan.
Dalam pantan bulan, yang menjadi penghalang tamu masuk pada pintu gerbang adalah sejumlah gadis-gadis yang berdiri berjejer. Jumlah gadis-gadis tersebut antara 3 (tiga) orang gadis, 5 (lima) orang gadis atau 7 (tujuh) orang gadis.

Dibawah pimpinan Damang Kepala Adat, tamu yang bersangkutan menarik dan memisahkan gadis-gadis tersebut sampai pintu gerbang terbuka. Pada zaman dulu, sang tamu dapat memilih salah satu dari gadis tersebut untuk diajak mendampinginya masuk kearena penyambutan tamu.

Kamis, 13 Februari 2014

Nama Bagian Tubuh dalam Bahasa Dayak Ngaju

Nama Bagian Tubuh dalam Bahasa Dayak Ngaju

Balaw (baca: ba-law) = rambut
Urung (baca: u-rung) = hidung
Pinding (baca: pin-ding) = telinga
Mate (baca: ma-te) = mata
Uyat (baca: u-yat) = leher
Takuluk / kuluk (baca: ta-ku-luk / ku - luk) = kepala
Usuk (baca: u-suk) = dada
Toso (baca: to-so) = dada wanita
Ijang (baca: i-jang) = dagu
Jela (baca:je-la; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = lidah
Kasinga (baca: ka-sing-nga) = gigi
Balengkung (baca: ba-leng-kung; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = tenggorokan
Biweh (baca: bi-weh; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = bibir
Lenge (baca: leng-nge; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = tangan
Pai (baca: pai; disambung; bukan pay) = kaki
Silu (baca: si-lu) = kuku
Utut (baca: u-tut) = lutut
Sapak (baca: sa-pak) = paha
Penang (baca: pe-nang; pengucapan e seperti pengucapan huruf e pada "bebek") = lengan
Para (baca: pa-ra) = pantat
Lukap = Telapak Tangan
Kaning = Alis

Singut = Kumis
Buntis = Betis kaki
Uti = Perkakas Laki"
Opes = perkakas perempuan
Puser= pusat
Tinjuk lenge= jari tangan
Tinjuk pai = jari kaki
Kalaguet = ubun-ubun
Mate pai = mata kaki
Katiak = ketek

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

  Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup ...