Rabu, 12 Februari 2014

Duhung Bertuah


Duhung Bertuah
 


Ambun dan Rimbun, adalah dua orang anak laki-laki bersaudara kakak beradik. Banyak orang mengira kedua anak tersebut saudara kembar namun sebenarnya bukan. Hai ini disebabkan wajah dan perawakan keduanya mirip sekali. Bahkan kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang Ambun dan mana yang Rimbun.  Ambun anak yang tertua dan Rimbun adalah adiknya, umur mereka hanya selisih dua tahun.  Pada waktu kecil Ambun sering sakit-sakitan. Sebab itulah pertumbuhannya agak terganggu, sedangkan Rimbun memang sedari kecilnya selalu sehat.

         Bagi orang sekampungnya, kedua anak itu sangat disenangi.  Sikapnya sopan, hormat terhadap orang tua dan dalam keluarganya selalu rukun.  Ibunya yang sudah tujuh tahun lebih menjanda, dengan susah payah menghidupi keluarganya.  Hal itu dapat dimaklumi, waktu suaminya masih hidup pun kehidupan keluarga mereka tergolong susah.  Apalagi sekarang, ayah anak-anak itu sudah tiada.  Walaupun demikian, ibu ini tidak pernah mengeluh.  Untung saja,  sejak kedua anaknya menginjak remaja, keadaan mereka sudah agak baik sedikit karena keduanya sudah bisa membantu.

         Suatu sore, waktu mereka sedang duduk-duduk beristirahat di beranda rumah bersama ibunya, Ambun menyampaikan niat mereka berdua selama ini.  Mereka berkeinginan, untuk mengadu nasib di negeri orang. Sebab banyak sudah mereka lihat, jika orang di kampung itu kembali dari perantauan kehidupannya menjadi lebih baik dari sebelumnya.  Selain itu, tidak enak rasanya hidup di kampung dengan kehidupan cuma itu-itu saja.  Keduanya ingin menambah pengalaman hidup.

         Ibunya yang sejak tadi hanya berdiam diri saja mendengarkan pembicaraan anaknya itu belum bicara apa-apa.  Dalam hatinya ia mempertimbangkan pendapat kedua anaknya.  Memang, apa yang dikatakan anaknya itu ada benarnya. Tetapi ia juga menilai, bahwa anak seusia Ambun dan Rimbun, terasa berat untuk diizinkan merantau karena mereka berdua masih terbilang muda.

         “Bagaimana bu ?” kembali Ambun bertanya.

         “Yah .., memang terasa sulit bagi ibu memberikan jawaban. Untuk itu ibu minta waktu untuk berpikir dahulu. Barangkali antara sehari dua ini ibu memberikan jawabannya”, jawab ibunya.

         “Tapi ibu tidak keberatan kan ?” kata Rimbun juga bertanya.

         “Yah .., mudah-mudahan”, sahut ibunya seraya bangkit masuk ke dalam rumah.

         Ambun dan Rimbun juga masuk mengikuti ibunya. Malam itu seolah-olah pembicaraan tadi sudah selesai begitu saja, tidak ada dari mereka yang berkeinginan mengungkit-ungkitnya lagi.

         Beberapa hari kemudian pada malam hari setelah selesai makan, ibunya meminta Ambun dan Rimbun duduk di dekatnya.

         “Ambun, Rimbun”, kata ibu itu memulai bicaranya.  “Selama ini, ibu telah mempertimbangkan permintaan kamu berdua.  Sebenarnya berat hati ibu melepaskan kalian berdua. Terutama Rimbun sendiri, ibu nilai masih terlalu muda.  Tetapi, setelah ibu berfikir pula bahwa anak laki-laki perlu memiliki pengalaman yang banyak. Sebab hidup di kampung sendiri, tidak ubahnya bunyi pepatah, seperti katak di bawah tempurung.  Oleh karena itu, keinginan kalian berdua ibu kabulkan”.  Mendengar ucapan ibunya, kedua anak itu bersorak gembira.

         Setelah ibunya menyuruh mereka berdua tenang dahulu, ia pun melanjutkannya : “Anakku, di negeri orang kamu tidak punya siapa-siapa.  Orang tuamu, sanak saudaramu, satu pun tiada.  Walau pun demikian, mereka itu sebenarnya semua ada, yakni mereka yang kau hormati, yang kau kasihi, yang kau cintai.  Oleh sebab itu,  hormati dan cintailah semua orang. Yang tua, hendaklah kau tuakan dan yang muda hendaklah kau jadikan sahabat.  Lusa kalian berdua boleh berangkat.  Sebaiknya kalian berdua jangan berpisah.  Tetapi kalau pun harus terjadi, jangan lupa saling mencari tahu kabar yang lain”, demikian ibunya mengakhiri nasehatnya.


Malam itu, kedua anak tersebut tidur nyenyak sekali. Barangkali mereka sudah terbuai dengan mimpi yang indah. Ibunya mengusap-usap rambut Ambun dan Rimbun berganti-ganti. Pilu hatinya, menatap wajah kedua anaknya itu. Di matanya ia membayangkan bagaimana kedua kakak beradik itu hidup di rantau orang. Kalau lapar, siapa yang memberinya makan. Kalau sakit, siapa yang menjaganya. Ia tidak mau mempersalahkan keputusannya. Ia yakin bahwa ia telah mengambil sikap yang bijaksana. Setelah puas memandang wajah kedua anaknya berganti-ganti, ia berdo’a semoga Ranying Hatalla Langit atau Tuhan melindungi kedua puteranya itu.  Ia sangat mendambakan kebahagiaan bagi kedua anaknya.
         Siangnya, Ambun dan Rimbun menyiapkan segala keperluannya termasuk pakaian mereka berdua. Kini tinggal menunggu saat keberangkatan saja. Demikian pula ibunya.  Pagi itu ia menangkap seekor ayam jantan dan disembelihnya. Darahnya dioleskannya pada dada, dagu, hidung  terus ke dahi kedua anaknya.  Diambilnya beras sedikit, dicelupkannya ke dalam air. Lalu ditaruhnya pada ubun-ubun kedua anaknya, seraya memohon keselamatan untuk kedua anaknya. Kepada kedua anaknya, ibu itu meminta agar mereka berangkat pagi-pagi sekali. Untuk bekal di jalan, ibunya membuat ketupat bagi mereka berdua dengan jumlah masing-masing tujuh biji, serta telur ayam rebus dalam jumlah yang sama.

         Tengah malam itu, ibunya membuka sebuah peti kecil yang terbuat dari besi. Dari dalamnya, dikeluarkan dua bilah duhung (senjata pusaka suku Dayak) dengan ukuran dan bentuk yang sama. Yang satu berlilitkan kain merah sedang yang satu lagi berlilit kain kuning.  Senjata tersebut adalah peninggalan almarhum suaminya. Sebelum ia meninggal dunia, ia berpesan pada isterinya agar disimpan baik-baik. Jangan sekali-kali diperlihatkan kepada orang lain. Dibuka atau tidak, nanti kalau kedua anak itu besar.  Yang berlilit kain merah diserahkan kepada Ambun dan yang kuning kepada Rimbun.  Setelah senjata itu dikeluarkan, ibunya mengambil kemenyan lalu membakarnya. Di atas asap kemenyan, senjata-senjata itu diasapinya seraya memohon tuah dari pusaka itu.

         Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Ambun dan Rimbun sudah bangun dan bersiap-siap untuk berangkat. Namun sebelumnya mereka berdua bergegas turun ke sungai mencuci muka. Ibunya menyiapkan makanan yang sudah dimasaknya tengah malam tadi.

         Setelah segalanya siap, ibunya menyerahkan duhung tadi kepada masing-masing anaknya. Ia berpesan agar senjata itu jangan sembarangan digunakan terkecuali dalam keadaan terdesak. Disertai linangan air matanya, kening dan pipi kedua anaknya diciumnya bergantian. Disuruhnya Ambun yang tua turun lebih dahulu, lalu disusul adiknya. Lama perempuan itu berdiri di depan pintu rumah mengiringi kepergian kedua anaknya itu. Setelah kedua anaknya menghilang di tikungan jalan kampung itu, barulah ia masuk ke dalam rumah.

         Tersebutlah perjalanan Ambun dan Rumbun, naik gunung turun gunung, tanpa tujuan yang pasti. Tekad mereka berdua apa pun yang terjadi, tujuannya hanya mengikuti arah matahari terbenam. Ketupat dan telur yang dibekali ibunya mereka makan sedikit-sedikit.

         Suatu pagi, pada hari ketujuh dari pengembaraan itu, mendadak Rimbun jatuh sakit. Dari mulutnya keluar darah segar. Ambun bingung, tidak tahu apa yang diperbuatnya. Dicobanya memberikan adiknya minum air akar-akaran kayu yang dikenalnya. Tetapi satu pun tidak ada yang menolong. Tidak terasa air matanya bercucuran, sedih hatinya melihat sakit adiknya itu.

         Timbul perasaan bersalah di hatinya, mengapa ia dahulu menyetujui adiknya ikut serta. Ia tidak dapat membayangkan betapa kesedihan ibunya, bila Rimbun sampai meninggal.  Penyesalan yang tiada berkesudahan merupakan dosa baginya. Dalam keadaan gawat seperti itu, Ambun hanya mampu berserah kepada Yang Maha Kuasa.   

         Akhirnya lewat tengah hari, Rimbun meninggal dunia. Sambil menggali kubur adiknya, ia meratap seorang diri. Alam yang hening kaku, menyaksikan upacara pemakaman tanpa diiringi kata-kata belasungkawa. Diambilnya ketupat dan telur bekal adiknya, diremasnya dan ditaburkannya. Senjata duhung dicabutnya, sarungnya ditan-capkannya di ujung sebelah kaki dan mata duhung ditancapkannya di bagian kepala dari makam itu. Kain pembungkus yang berwarna kuning diikatkannya pada sebatang kayu kecil.
Dengan digeluti rasa sedih yang sangat dalam, Ambun meneruskan perjalanannya. Hari itu bekalnya sudah habis.  Ambun mulai cemas, apa yang akan dimakannya besok pagi.  Ia lalu memanjat sebatang pohon.  Ia berharap, dari atas pohon itu dapat melihat sesuatu.  Setibanya di atas pohon ia memandang ke sekeliling tempat itu. Di kejauhan terlihat olehnya asap api mengepul ke atas. Ambun merasa gembira. Di sebelah sana, pasti ada orang, fikirnya dalam hati. Dengan tidak banyak berfikir lagi, Ambun dengan cepat berjalan menuju arah asap tadi.
         Hampir malam baru ia tiba di situ. Dari jauh dilihatnya sebuah rumah. Rumah itu cuma satu dan di sekitarnya tidak ada kelihatan rumah lain. Dengan perasaan takut-takut, Ambun mendekati rumah tua itu. Dilihatnya seorang perermpuan tua sedang memasukkan ayam ke dalam kandang.  Menghindari agar orang tua itu tidak mendadak terkejut, Ambun berdehem.  Mendengar ada suara orang, perempuan itu menoleh ke arahnya.  Cukup lama orang tua itu tampak tertegun.

         “Salam nenek”, kata Ambun lembut.

         “Siapa kamu anak muda ?”  perempuan tua itu balas bertanya.

         “Saya bernama Ambun. Saya tiba di sini, nyasar tidak tahu jalan untuk pulang”, jelas Ambun.

         “Apakah kamu hanya sendirian ?”  tanya nenek itu lagi.

         “Tadinya dengan adikku. Di tengah jalan, ia meninggal dunia sebab kelaparan”, lanjutnya dengan wajah sedih.

         Mendengar ucapan anak itu, nenek tadi merasa kasihan. Ia pun mempersilahkan Ambun untuk mengikutinya naik ke rumah.  Ambun mengikuti dari belakang.

         Setelah makan malam, Ambun menceriterakan keadaan keluarga mereka. Orang tua itu mendengarnya dengan penuh perhatian.  Demikian pula, nenek itu menceriterakan keadaannya. Sebenarnya nenek itu berasal dari keluarga raja yang sekarang memerintah di daerah itu. 

         Akibat perkawinannya dengan almarhum suaminya dahulu, ia diusir.  Sayangnya dari perkawinan itu mereka tidak memperoleh seorang pun putera.  Sampai akhirnya suaminya meninggal sekitar sepuluh tahun yang lalu. 

         Sekali-sekali kalau ada keperluannya, nenek itu pulang ke kota.  Tetapi ia sangat menghindari bila bertemu dengan pihak keluarganya.  Dan sampai sekarang ia sama sekali dilupakan orang. Demikianlah atas tawaran perempuan itu, Ambun tinggal bersamanya.  Betapa senang hati orang tua itu atas kehadiran Ambun.  Mencari kayu api, menimba air, memelihara ayam, bahkan pekerjaan ladang tidak lagi dilakukan oleh orang tua itu sepenuhnya.

         Begitu pula Ambun dengan senang hati melakukan pekerjaannya. Malah kadang-kadang nenek tua itu agak kesal melihat Ambun bila bekerja tidak mau berhenti kalau tidak disuruh berhenti. Tetapi Ambun seperti tidak mau mendengar.  Apalagi kalau pekerjaannya itu mengasyikkannya.  Oleh nenek tua itu, Ambun sudah dianggap seperti cucu kandungnya sendiri.  Kadang-kadang ia khawatir kalau cucunya itu sakit bila terlalu banyak bekerja.

         Suatu hari Ambun dan neneknya sangat ketakutan.  Lima orang pengawal kerajaan menemui mereka.  Dikatakannya bahwa Ambun, cucu nenek tua itu besok harus ikut pertandingan.  Karena pertandingan tersebut harus diikuti oleh para ksatria dan pemuda lainnya dari kerajaan itu yang kesemuanya gagal. Sekarang tinggal Ambun satu-satunya yang harus mengikuti pertandingan itu.

         Barang siapa dapat melompat dari halaman istana mengambil bunga melati di atas atap istana itu dan langsung menyerahkannya kepada tuan puteri maka ia dinyatakan sebagai pemenang dan berhak menikahi tuan puteri serta sekaligus sebagai menantu raja. Bagi peserta terakhir yakni Ambun apabila gagal, akan dihukum gantung. 

         Mendengar keterangan itu nenek tua itu dan Ambun menangis tersedu-sedu.  Apakah daya Ambun memenangkan pertandingan itu ? Sampai larut malam, mereka berdua tidak dapat tidur.  Ambun mengeluarkan senjata duhungnya, lalu diserahkannya kepada nenek tua itu. Nenek tua itu lalu membakar kemenyan sambil menaburkan beras kuning.  Ia meminta kepada Yang Maha Kuasa sekiranya ia keturunan para raja juga, mohon agar kekuatan yang ia miliki diberikan kepada cucunya Ambun.  Semoga besok dalam pertandingan itu, cucunya memperoleh berkah dan dapat memenangkan pertandingan tersebut.

         Pagi-pagi sekali Ambun sudah menyiapkan diri. Neneknya dipaksanya untuk ikut melihat. Apabila ia gagal, biarlah neneknya menyaksikannya menjalani hukuman itu. Dengan terpaksa, nenek tua itu memenuhi keinginan cucu angkatnya.  Sebentar kemudian pengawal pun datang. Tanpa banyak bicara, Ambun langsung dibawa.  Nenek tua itu mengikutinya dari belakang, diiringi tangisnya. Sambil berjalan Ambun mengingatkan neneknya agar mendo’akan kemenangan baginya.

         Setibanya di halaman istana, penonton sudah penuh sesak. Semua mata tertuju kepada Ambun.  Para peserta, anak raja dari kerajaan Asang Samaratih tujuh bersaudara, tertawa mengejek. Jangankan Ambun yang berpakaian compang camping begitu, mereka yang turunan raja dan para ksatria saja tidak dapat memenangkannya.

         Pertandingan pun segera dimulai. Sebelumnya, hulubalang raja mengulangi peraturan pertandingan dan sanksi hukum gantung bagi Ambun apabila ia gagal.  Semua penonton menahan nafas, merasa kasihan kepada pemuda itu andaikata ia gagal.

         Setelah ia diperintahkan untuk maju ke depan, terdengar tepuk tangan bercampur ejekan gemuruh dari penonton. Bersamaan dengan pengambilan ancang-ancang dengan suara nyaring ia memanggil ayahnya. Bersamaan dengan itu, Ambun mencabut senjata duhung pusaka yang terselip di pinggangnya. Seketika itu juga ia melejit ke atas seperti anak panah lepas dari busurnya. Orang-orang yang menyaksikan seakan-akan tidak percaya tahu-tahu Ambun sudah berdiri di samping Tuan Puteri. Saat itu juga, ia pun menyerahkan bunga itu.  Tempik sorak penonton gegap gempita seperti membelah bumi layaknya.

         Melihat kejadian itu raja langsung berdiri, seraya mengumumkan bahwa apa yang menjadi keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Dan secara syah, Ambun diakui menjadi suami anaknya Tuan Puteri.

         Rupanya para undangan, anak raja dari kerajaan Asang Samaratih tujuh bersaudara merasa tidak puas. Mereka telah dipermalukan oleh anak ingusan itu. Apalagi orang itu tidak diketahui asal usulnya. Oleh sebab itu mereka mengumumkan perang, yang kalah dijadikan hamba sahaya dan seluruh barang miliknya disita. Raja sendiri tidak dapat mengelak dan terjadilah perang yang dahsyat. Tetapi berkat kesaktian senjata yang dimiliki Ambun, semua musuh dapat dikalahkan.

         Dengan segala kerendahan hati Ambun tidak mau melaksanakan perjanjian tadi. Semua musuhnya disuruhnya kembali dalam keadaan baik-baik. Mereka semua merasa malu sendiri atas perlakuan Ambun terhadapnya. Selanjutnya, diadakanlah pesta perkawinan Ambun dengan Tuan Puteri selama tujuh hari tujuh malam dan mulai saat itulah Ambun menjadi keluarga istana. Sedangkan neneknya juga dibawanya ke sana. Mulai saat itu pula neneknya rukun kembali dengan fihak keluarga raja.

         Setelah raja yakni mertua Ambun tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan, kerajaan itu diserahkan kepada Ambun menantunya.  Sejak saat itu Ambun berusaha mencari letak kampung mereka dahulu tempat tinggal ibunya. Untuk mencari ibunya tidaklah terlalu sulit sebab kampung itu ternyata masuk wilayah kekuasaannya.

         Betapa bahagia perasaan ibunya walau pun satu di antara anaknya yaitu Rimbun sudah tiada. Melihat kesedihan ibunya atas kematian adiknya, Ambun membawa beberapa orang pengawalnya mencari Danum Kaharingan Belum (air hayat) di Bukit Kaminting. Dengan bersusah payah akhirnya Danum Kaharingan Belum itu diperolehnya pula. Kemudian mereka berusaha untuk menemukan makam Rimbun adiknya.

         Dengan tanda-tanda yang diberikan dulu akhirnya makam itu ditemukan juga. Seluruh tulang belulang adiknya dikumpulkan. Setelah Danum Kaharingan Belum itu diteteskan, mulailah tulang-tulang itu menyusun diri. Tidak lama kemudian, berdirilah adiknya Rimbun.

         Sambil berpelukan, mereka berdua saling menangis melepaskan rindunya. Tetapi yang paling berbahagia adalah ibunya. Ia bersyukur kepada Tuhan karena do’anya dikabulkan oleh Yang Maha Besar Tuhan. Hiduplah mereka dengan damai sentosa.  
            Ketabahan, ketekunan dan kejujuran merupakan modal dalam menempuh kehidupan.  Namun jika memperoleh keberuntungan janganlah lalu menjadi sombong. Berbuatlah kebaikan pada siapa saja, tidak terkecuali musuh sekalipun.

1 komentar:

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

  Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup ...