Duhung Bertuah
Ambun dan
Rimbun, adalah dua orang anak laki-laki bersaudara kakak beradik. Banyak orang
mengira kedua anak tersebut saudara kembar namun sebenarnya bukan. Hai ini
disebabkan wajah dan perawakan keduanya mirip sekali. Bahkan kadang-kadang
orang sulit membedakan mana yang Ambun dan mana yang Rimbun. Ambun anak yang tertua dan Rimbun adalah
adiknya, umur mereka hanya selisih dua tahun.
Pada waktu kecil Ambun sering sakit-sakitan. Sebab itulah pertumbuhannya
agak terganggu, sedangkan Rimbun memang sedari kecilnya selalu sehat.
Bagi orang sekampungnya, kedua anak itu
sangat disenangi. Sikapnya sopan, hormat
terhadap orang tua dan dalam keluarganya selalu rukun. Ibunya yang sudah tujuh tahun lebih menjanda,
dengan susah payah menghidupi keluarganya.
Hal itu dapat dimaklumi, waktu suaminya masih hidup pun kehidupan
keluarga mereka tergolong susah. Apalagi
sekarang, ayah anak-anak itu sudah tiada.
Walaupun demikian, ibu ini tidak pernah mengeluh. Untung saja,
sejak kedua anaknya menginjak remaja, keadaan mereka sudah agak baik
sedikit karena keduanya sudah bisa membantu.
Suatu sore, waktu mereka sedang
duduk-duduk beristirahat di beranda rumah bersama ibunya, Ambun menyampaikan
niat mereka berdua selama ini. Mereka
berkeinginan, untuk mengadu nasib di negeri orang. Sebab banyak sudah mereka
lihat, jika orang di kampung itu kembali dari perantauan kehidupannya menjadi
lebih baik dari sebelumnya. Selain itu,
tidak enak rasanya hidup di kampung dengan kehidupan cuma itu-itu saja. Keduanya ingin menambah pengalaman hidup.
Ibunya yang sejak tadi hanya berdiam
diri saja mendengarkan pembicaraan anaknya itu belum bicara apa-apa. Dalam hatinya ia mempertimbangkan pendapat
kedua anaknya. Memang, apa yang dikatakan
anaknya itu ada benarnya. Tetapi ia juga menilai, bahwa anak seusia Ambun dan
Rimbun, terasa berat untuk diizinkan merantau karena mereka berdua masih
terbilang muda.
“Bagaimana bu ?” kembali Ambun
bertanya.
“Yah .., memang terasa sulit bagi ibu
memberikan jawaban. Untuk itu ibu minta waktu untuk berpikir dahulu. Barangkali
antara sehari dua ini ibu memberikan jawabannya”, jawab ibunya.
“Tapi ibu tidak keberatan kan ?” kata
Rimbun juga bertanya.
“Yah .., mudah-mudahan”, sahut ibunya
seraya bangkit masuk ke dalam rumah.
Ambun dan Rimbun juga masuk mengikuti
ibunya. Malam itu seolah-olah pembicaraan tadi sudah selesai begitu saja, tidak
ada dari mereka yang berkeinginan mengungkit-ungkitnya lagi.
Beberapa hari kemudian pada malam hari
setelah selesai makan, ibunya meminta Ambun dan Rimbun duduk di dekatnya.
“Ambun, Rimbun”, kata ibu itu memulai
bicaranya. “Selama ini, ibu telah
mempertimbangkan permintaan kamu berdua.
Sebenarnya berat hati ibu melepaskan kalian berdua. Terutama Rimbun
sendiri, ibu nilai masih terlalu muda.
Tetapi, setelah ibu berfikir pula bahwa anak laki-laki perlu memiliki
pengalaman yang banyak. Sebab hidup di kampung sendiri, tidak ubahnya bunyi
pepatah, seperti katak di bawah tempurung.
Oleh karena itu, keinginan kalian berdua ibu kabulkan”. Mendengar ucapan ibunya, kedua anak itu
bersorak gembira.
Setelah ibunya menyuruh mereka berdua
tenang dahulu, ia pun melanjutkannya : “Anakku, di negeri orang kamu tidak
punya siapa-siapa. Orang tuamu, sanak
saudaramu, satu pun tiada. Walau pun
demikian, mereka itu sebenarnya semua ada, yakni mereka yang kau hormati, yang
kau kasihi, yang kau cintai. Oleh sebab
itu, hormati dan cintailah semua orang.
Yang tua, hendaklah kau tuakan dan yang muda hendaklah kau jadikan
sahabat. Lusa kalian berdua boleh
berangkat. Sebaiknya kalian berdua
jangan berpisah. Tetapi kalau pun harus
terjadi, jangan lupa saling mencari tahu kabar yang lain”, demikian ibunya mengakhiri
nasehatnya.
Siangnya, Ambun dan Rimbun menyiapkan
segala keperluannya termasuk pakaian mereka berdua. Kini tinggal menunggu saat
keberangkatan saja. Demikian pula ibunya.
Pagi itu ia menangkap seekor ayam jantan dan disembelihnya. Darahnya
dioleskannya pada dada, dagu, hidung
terus ke dahi kedua anaknya.
Diambilnya beras sedikit, dicelupkannya ke dalam air. Lalu ditaruhnya
pada ubun-ubun kedua anaknya, seraya memohon keselamatan untuk kedua anaknya.
Kepada kedua anaknya, ibu itu meminta agar mereka berangkat pagi-pagi sekali.
Untuk bekal di jalan, ibunya membuat ketupat bagi mereka berdua dengan jumlah
masing-masing tujuh biji, serta telur ayam rebus dalam jumlah yang sama.
Tengah malam itu, ibunya membuka sebuah
peti kecil yang terbuat dari besi. Dari dalamnya, dikeluarkan dua bilah duhung (senjata pusaka suku Dayak)
dengan ukuran dan bentuk yang sama. Yang satu berlilitkan kain merah sedang
yang satu lagi berlilit kain kuning.
Senjata tersebut adalah peninggalan almarhum suaminya. Sebelum ia
meninggal dunia, ia berpesan pada isterinya agar disimpan baik-baik. Jangan
sekali-kali diperlihatkan kepada orang lain. Dibuka atau tidak, nanti kalau
kedua anak itu besar. Yang berlilit kain
merah diserahkan kepada Ambun dan yang kuning kepada Rimbun. Setelah senjata itu dikeluarkan, ibunya
mengambil kemenyan lalu membakarnya. Di atas asap kemenyan, senjata-senjata itu
diasapinya seraya memohon tuah dari pusaka itu.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali
Ambun dan Rimbun sudah bangun dan bersiap-siap untuk berangkat. Namun
sebelumnya mereka berdua bergegas turun ke sungai mencuci muka. Ibunya
menyiapkan makanan yang sudah dimasaknya tengah malam tadi.
Setelah segalanya siap, ibunya
menyerahkan duhung tadi kepada masing-masing anaknya. Ia berpesan agar senjata
itu jangan sembarangan digunakan terkecuali dalam keadaan terdesak. Disertai
linangan air matanya, kening dan pipi kedua anaknya diciumnya bergantian. Disuruhnya
Ambun yang tua turun lebih dahulu, lalu disusul adiknya. Lama perempuan itu
berdiri di depan pintu rumah mengiringi kepergian kedua anaknya itu. Setelah
kedua anaknya menghilang di tikungan jalan kampung itu, barulah ia masuk ke
dalam rumah.
Tersebutlah perjalanan Ambun dan
Rumbun, naik gunung turun gunung, tanpa tujuan yang pasti. Tekad mereka berdua
apa pun yang terjadi, tujuannya hanya mengikuti arah matahari terbenam. Ketupat
dan telur yang dibekali ibunya mereka makan sedikit-sedikit.
Suatu pagi, pada hari ketujuh dari
pengembaraan itu, mendadak Rimbun jatuh sakit. Dari mulutnya keluar darah
segar. Ambun bingung, tidak tahu apa yang diperbuatnya. Dicobanya memberikan
adiknya minum air akar-akaran kayu yang dikenalnya. Tetapi satu pun tidak ada yang
menolong. Tidak terasa air matanya bercucuran, sedih hatinya melihat sakit
adiknya itu.
Timbul perasaan bersalah di hatinya,
mengapa ia dahulu menyetujui adiknya ikut serta. Ia tidak dapat membayangkan
betapa kesedihan ibunya, bila Rimbun sampai meninggal. Penyesalan yang tiada berkesudahan merupakan
dosa baginya. Dalam keadaan gawat seperti itu, Ambun hanya mampu berserah
kepada Yang Maha Kuasa.
Akhirnya lewat tengah hari, Rimbun
meninggal dunia. Sambil menggali kubur adiknya, ia meratap seorang diri. Alam
yang hening kaku, menyaksikan upacara pemakaman tanpa diiringi kata-kata
belasungkawa. Diambilnya ketupat dan telur bekal adiknya, diremasnya dan
ditaburkannya. Senjata duhung dicabutnya, sarungnya ditan-capkannya di ujung
sebelah kaki dan mata duhung ditancapkannya di bagian kepala dari makam itu.
Kain pembungkus yang berwarna kuning diikatkannya pada sebatang kayu kecil.
Dengan digeluti rasa sedih yang sangat
dalam, Ambun meneruskan perjalanannya. Hari itu bekalnya sudah habis. Ambun mulai cemas, apa yang akan dimakannya
besok pagi. Ia lalu memanjat sebatang
pohon. Ia berharap, dari atas pohon itu
dapat melihat sesuatu. Setibanya di atas
pohon ia memandang ke sekeliling tempat itu. Di kejauhan terlihat olehnya asap
api mengepul ke atas. Ambun merasa gembira. Di sebelah sana, pasti ada orang,
fikirnya dalam hati. Dengan tidak banyak berfikir lagi, Ambun dengan cepat
berjalan menuju arah asap tadi.
Hampir malam baru ia tiba di situ. Dari
jauh dilihatnya sebuah rumah. Rumah itu cuma satu dan di sekitarnya tidak ada
kelihatan rumah lain. Dengan perasaan takut-takut, Ambun mendekati rumah tua
itu. Dilihatnya seorang perermpuan tua sedang memasukkan ayam ke dalam
kandang. Menghindari agar orang tua itu
tidak mendadak terkejut, Ambun berdehem.
Mendengar ada suara orang, perempuan itu menoleh ke arahnya. Cukup lama orang tua itu tampak tertegun.
“Salam nenek”, kata Ambun lembut.
“Siapa kamu anak muda ?” perempuan tua itu balas bertanya.
“Saya bernama Ambun. Saya tiba di sini,
nyasar tidak tahu jalan untuk pulang”, jelas Ambun.
“Apakah kamu hanya sendirian ?” tanya nenek itu lagi.
“Tadinya dengan adikku. Di tengah
jalan, ia meninggal dunia sebab kelaparan”, lanjutnya dengan wajah sedih.
Mendengar ucapan anak itu, nenek tadi
merasa kasihan. Ia pun mempersilahkan Ambun untuk mengikutinya naik ke
rumah. Ambun mengikuti dari belakang.
Setelah makan malam, Ambun
menceriterakan keadaan keluarga mereka. Orang tua itu mendengarnya dengan penuh
perhatian. Demikian pula, nenek itu
menceriterakan keadaannya. Sebenarnya nenek itu berasal dari keluarga raja yang
sekarang memerintah di daerah itu.
Akibat perkawinannya dengan almarhum
suaminya dahulu, ia diusir. Sayangnya
dari perkawinan itu mereka tidak memperoleh seorang pun putera. Sampai akhirnya suaminya meninggal sekitar
sepuluh tahun yang lalu.
Sekali-sekali kalau ada keperluannya,
nenek itu pulang ke kota. Tetapi ia
sangat menghindari bila bertemu dengan pihak keluarganya. Dan sampai sekarang ia sama sekali dilupakan
orang. Demikianlah atas tawaran perempuan itu, Ambun tinggal bersamanya. Betapa senang hati orang tua itu atas
kehadiran Ambun. Mencari kayu api,
menimba air, memelihara ayam, bahkan pekerjaan ladang tidak lagi dilakukan oleh
orang tua itu sepenuhnya.
Begitu pula Ambun dengan senang hati
melakukan pekerjaannya. Malah kadang-kadang nenek tua itu agak kesal melihat
Ambun bila bekerja tidak mau berhenti kalau tidak disuruh berhenti. Tetapi
Ambun seperti tidak mau mendengar.
Apalagi kalau pekerjaannya itu mengasyikkannya. Oleh nenek tua itu, Ambun sudah dianggap
seperti cucu kandungnya sendiri.
Kadang-kadang ia khawatir kalau cucunya itu sakit bila terlalu banyak
bekerja.
Suatu hari Ambun dan neneknya sangat
ketakutan. Lima orang pengawal kerajaan
menemui mereka. Dikatakannya bahwa
Ambun, cucu nenek tua itu besok harus ikut pertandingan. Karena pertandingan tersebut harus diikuti
oleh para ksatria dan pemuda lainnya dari kerajaan itu yang kesemuanya gagal.
Sekarang tinggal Ambun satu-satunya yang harus mengikuti pertandingan itu.
Barang siapa dapat melompat dari
halaman istana mengambil bunga melati di atas atap istana itu dan langsung
menyerahkannya kepada tuan puteri maka ia dinyatakan sebagai pemenang dan
berhak menikahi tuan puteri serta sekaligus sebagai menantu raja. Bagi peserta
terakhir yakni Ambun apabila gagal, akan dihukum gantung.
Mendengar keterangan itu nenek tua itu
dan Ambun menangis tersedu-sedu. Apakah
daya Ambun memenangkan pertandingan itu ? Sampai larut malam, mereka berdua
tidak dapat tidur. Ambun mengeluarkan
senjata duhungnya, lalu diserahkannya kepada nenek tua itu. Nenek tua itu lalu
membakar kemenyan sambil menaburkan beras kuning. Ia meminta kepada Yang Maha Kuasa sekiranya
ia keturunan para raja juga, mohon agar kekuatan yang ia miliki diberikan
kepada cucunya Ambun. Semoga besok dalam
pertandingan itu, cucunya memperoleh berkah dan dapat memenangkan pertandingan
tersebut.
Pagi-pagi sekali Ambun sudah menyiapkan
diri. Neneknya dipaksanya untuk ikut melihat. Apabila ia gagal, biarlah
neneknya menyaksikannya menjalani hukuman itu. Dengan terpaksa, nenek tua itu
memenuhi keinginan cucu angkatnya.
Sebentar kemudian pengawal pun datang. Tanpa banyak bicara, Ambun
langsung dibawa. Nenek tua itu
mengikutinya dari belakang, diiringi tangisnya. Sambil berjalan Ambun
mengingatkan neneknya agar mendo’akan kemenangan baginya.
Setibanya di halaman istana, penonton
sudah penuh sesak. Semua mata tertuju kepada Ambun. Para peserta, anak raja dari kerajaan Asang
Samaratih tujuh bersaudara, tertawa mengejek. Jangankan Ambun yang berpakaian
compang camping begitu, mereka yang turunan raja dan para ksatria saja tidak
dapat memenangkannya.
Pertandingan pun segera dimulai.
Sebelumnya, hulubalang raja mengulangi peraturan pertandingan dan sanksi hukum
gantung bagi Ambun apabila ia gagal.
Semua penonton menahan nafas, merasa kasihan kepada pemuda itu andaikata
ia gagal.
Setelah ia diperintahkan untuk maju ke
depan, terdengar tepuk tangan bercampur ejekan gemuruh dari penonton. Bersamaan
dengan pengambilan ancang-ancang dengan suara nyaring ia memanggil ayahnya.
Bersamaan dengan itu, Ambun mencabut senjata duhung pusaka yang terselip di
pinggangnya. Seketika itu juga ia melejit ke atas seperti anak panah lepas dari
busurnya. Orang-orang yang menyaksikan seakan-akan tidak percaya tahu-tahu
Ambun sudah berdiri di samping Tuan Puteri. Saat itu juga, ia pun menyerahkan
bunga itu. Tempik sorak penonton gegap
gempita seperti membelah bumi layaknya.
Melihat kejadian itu raja langsung
berdiri, seraya mengumumkan bahwa apa yang menjadi keputusannya tidak dapat
diganggu gugat. Dan secara syah, Ambun diakui menjadi suami anaknya Tuan
Puteri.
Rupanya para undangan, anak raja dari
kerajaan Asang Samaratih tujuh bersaudara merasa tidak puas. Mereka telah
dipermalukan oleh anak ingusan itu. Apalagi orang itu tidak diketahui asal
usulnya. Oleh sebab itu mereka mengumumkan perang, yang kalah dijadikan hamba
sahaya dan seluruh barang miliknya disita. Raja sendiri tidak dapat mengelak
dan terjadilah perang yang dahsyat. Tetapi berkat kesaktian senjata yang
dimiliki Ambun, semua musuh dapat dikalahkan.
Dengan segala kerendahan hati Ambun
tidak mau melaksanakan perjanjian tadi. Semua musuhnya disuruhnya kembali dalam
keadaan baik-baik. Mereka semua merasa malu sendiri atas perlakuan Ambun
terhadapnya. Selanjutnya, diadakanlah pesta perkawinan Ambun dengan Tuan Puteri
selama tujuh hari tujuh malam dan mulai saat itulah Ambun menjadi keluarga
istana. Sedangkan neneknya juga dibawanya ke sana. Mulai saat itu pula neneknya
rukun kembali dengan fihak keluarga raja.
Setelah raja yakni mertua Ambun tidak
mampu lagi menjalankan pemerintahan, kerajaan itu diserahkan kepada Ambun
menantunya. Sejak saat itu Ambun
berusaha mencari letak kampung mereka dahulu tempat tinggal ibunya. Untuk
mencari ibunya tidaklah terlalu sulit sebab kampung itu ternyata masuk wilayah
kekuasaannya.
Betapa bahagia perasaan ibunya walau
pun satu di antara anaknya yaitu Rimbun sudah tiada. Melihat kesedihan ibunya
atas kematian adiknya, Ambun membawa beberapa orang pengawalnya mencari Danum Kaharingan Belum (air hayat) di
Bukit Kaminting. Dengan bersusah payah akhirnya Danum Kaharingan Belum itu
diperolehnya pula. Kemudian mereka berusaha untuk menemukan makam Rimbun
adiknya.
Dengan tanda-tanda yang diberikan dulu
akhirnya makam itu ditemukan juga. Seluruh tulang belulang adiknya dikumpulkan.
Setelah Danum Kaharingan Belum itu diteteskan, mulailah tulang-tulang itu
menyusun diri. Tidak lama kemudian, berdirilah adiknya Rimbun.
Sambil berpelukan, mereka berdua saling
menangis melepaskan rindunya. Tetapi yang paling berbahagia adalah ibunya. Ia
bersyukur kepada Tuhan karena do’anya dikabulkan oleh Yang Maha Besar Tuhan.
Hiduplah mereka dengan damai sentosa.
Ketabahan,
ketekunan dan kejujuran merupakan modal dalam menempuh kehidupan. Namun jika memperoleh keberuntungan janganlah
lalu menjadi sombong. Berbuatlah kebaikan pada siapa saja, tidak terkecuali
musuh sekalipun.
wow RL
BalasHapus