Minggu, 17 Agustus 2014

Perjalanan Sang Pangeran

Keluarnya rombongan Pangeran Adipati Antakesuma dari sungai Sebangau karena merasa wilayah itu masih dekat dengan negeri atau kerajaan Banjar. Sebab itulah maka Pangeran Adipati Antakesuma menamai daerah ini termasuk sungai dan teluknya dengan Sebangau, karena ngangau  (bahasa Banjar : ingar, suara ribut, gaduh, hiruk pikuk) orang-orang di Banjar masih kedengaran. 
                Beberapa hari kemudian rombongan itu menemukan sebuah sungai serta memasukinya. Sebuah dusun yang penduduknya hidup dari menangkap ikan mereka singgahi. Di sini rombongan Pangeran Adipati Antakesuma bermalam.  Tempat itu belum punya nama; namun mereka mengetahui adanya kerajaan Banjar, sebab kadang-kadang mereka memasarkan hasil perolehannya berupa ikan kering ke Bandar Masih (sekarang Banjarmasin).
                Semua warga dusun melayani rombongan Pangeran dengan ramahnya, selama beberapa hari mereka tidak melaut (mencari ikan ke laut). Pangeran mengatakan bahwa akibat kedatangannya maka warga dusun itu terpaksa bahaur (bahasa Banjar :  menjadi sibuk) sedikit.  Namun setiap malam masih terdengar suara agung (bahasa Banjar : gong) Kayat Peradah terbawa angin sampai ke tempat ini.  Pangeran memutuskan untuk meneruskan perjalanannya.
                Sebelum berangkat Pangeran Adipati Antakesuma menyerahkan sekedar biaya untuk mengganti perongkosannya selama bermalam di tempat itu.  Karena dipaksa akhirnya kepala dusun itu menerimanya dengan beberapa kali mengatakan bahwa pemberian Pangeran itu bagi mereka kahaian (bahasa Dayak Ngaju : terlalu besar, terlalu banyak). Sejak saat itulah dusun mereka itu dikenal dengan sebutan Bahaur dan sungai itu hingga sekarang disebut dengan nama sungai Kahaian atau sungai Kahayan.
                Kembali ketujuh buah perahu layar itu terombang-ambing oleh gelombang ketika menyusuri pesisir pantai laut Jawa. Tiga hari kemudian mereka melihat muara sebuah sungai dan lalu memasukinya. Ada setengah hari pelayaran dengan hanya berdayung hingga mereka menjumpai sebuah kampung. Penduduknya kebanyakan beragama Islam dan ternyata juga berasal dari daerah dan suku Banjar.
                Ketika bermalam di kampung ini sayup-sayup masih terdengar suara Kayat Peradah terbawa angin. Walaupun penduduk kampung di sungai Katingan ini menginginkan Pangeran Adipati Antakesuma untuk menetap serta mendirikan kerajaannya, namun Pangeran agak kurang berkenan.
                Pangeran lalu berkata : “Aku sangat berterima kasih pada kalian warga kampung ini. Namun untuk mendirikan kerajaan serta menjadi raja di sini aku merasa hawai (bahasa Banjar : hambar, kurang berkenan) sebab masih kudengar suara agung Kayat Peradah. Hal itu menandakan bahwa tempat ini masih dekat dengan kerajaan Banjar.  Sebab itu sungai dan kampung ini kunamakan Mendawai”.
                Esok harinya rombongan Pangeran kembali berlayar dan sehari kemudian terlihat muara sungai Mentaya. Pangeran dan pengikutnya memasuki sungai ini hingga sampai pertengahannya serta  bermalam di sebuah kampung selama tiga hari. Penduduk kampung ini menerimanya dengan baik dan menginginkan Pangeran menetap di kampung mereka. Namun nampaknya Pangeran masih berpikir, itu terlihat dari dahinya yang berkerut.
                Tiga hari kemudian Pangeran mengumpulkan kerabatnya dan warga kampung, lalu beliau berkata : “Aku sangat berterimakasih dengan sikap warga kampung ini yang menerima kedatanganku dengan tulus ikhlas. Namun suara agung Kayat Peradah masih kudengar dan itu menandakan daerah ini masih dekat dengan kerajaan Banjar. Lagi pula sungai ini terlalu pendek dan perairannya sangat sampit (bahasa Banjar : sempit, tidak leluasa) sebab banyaknya pulau di tengah sungai. Maka sebagai kenangan kunamai sungai serta kampung ini dengan Sampit. Aku bermohon diri meneruskan perjalananku mencari tempat yang sesuai untuk mendirikan kerajaanku”.
                Kembali tujuh buah perahu itu berlayar menyusuri pesisir pantai menuju ke arah barat. Setelah berada empat hari di laut, akhirnya rombongan Pangeran Adipati Antakesuma memasuki sungai Seruyan. Dari laut sudah kelihatan ada sebuah kampung yang cukup besar terletak di muaranya. Rombongan Pangeran lalu berhenti dan bermalam di tempat itu.
                Malam harinya Pangeran duduk termenung, ia sangat menyenangi tempat ini. Malam penuh bintang di langit. Puncak gelombang-gelombang kecil di laut lepas menimbulkan garis-garis putih yang timbul tenggelam, sungguh indah pemandangannya.
                Sudah beberapa malam ini tidak terdengar sama sekali suara agung Kayat Peradah, berarti tempat ini sudah jauh dari wilayah kerajaan Banjar. Pangeran Adipati Antakesuma memutuskan untuk menetap dan mendirikan kerajaannya di tempat ini.
                Esok harinya Pangeran Adipati Antakesuma mengumpulkan penduduk kampung itu. Di hadapan para tetua kampung Pangeran berkata : “Aku sangat tertarik dengan tempat ini.  Terasa nyaman, tenteram dan sesuai bagiku. Bagaimana pendapat kalian jika aku menetap dan mendirikan kerajaan di sini ?”
                Para tetua kampung itu tercekat mendengarnya, mereka saling pandang dan hampir bersamaan menjawab : “Kami sekalian ini tiada adat beraja karena sejak dahulu kami beraja dan mengantarkan upeti ke Banjar”. 
                “Benarkah kalian semua tiada hendak berajakan aku ini ?”, tanya Pangeran Adipati Antakesuma penuh harap, “Untuk kalian ketahui aku ini adalah adik kandung dari raja Banjar yang sekarang bertahta, jadi sebenarnya kalian tidak usah ragu”.
                “Benarlah, tiada kami berkata dua lagi”, sahut semua mereka para tetuha kampung itu.
                Pangeran terdiam mendengarnya, ia menjadi sedih. Ketika tempatnya sudah sesuai di hati, tapi warga tidak menginginkan keberadaannya. Padahal mereka adalah rakyat kerajaannya sendiri. Namun Pangeran Adipati Antakesuma tidak pernah ingin memaksakan kehendak, walau ia dengan para pengikutnya dapat saja berbuat. Pangeran lupa meminta surat titah dari kakaknya Sultan Inayatullah, sebagai bukti yang dapat membuat warga kampung itu percaya.
                Pangeran Adipati Antakesuma pun berujar : “Aku tidak kecewa atas sikap kalian yang tidak bersedia berajakan aku. Sikap kalian benar dalam berhati-hati menerima setiap pendatang baru. Namun kutegaskan sekali lagi bahwa aku benar-benar keluarga kerajaan Banjar, tepatnya adik kandung raja yang memerintah sekarang ini yaitu Sultan Inayatullah. Sebagai kenangan bahwa kalian telah membuang raja, maka sungai ini kunamakan Pembuang dan kampung ini Kuala Pembuang”.   
                Selama beberapa hari Pangeran tinggal di Kuala Pembuang ini, sementara menunggu datangnya sebuah perahunya yang telah melaut untuk mencari tahu jalur pelayaran yang akan ditempuh selanjutnya. Ketika perahu itu datang, nakhodanya segera berdatang sembah : “Tuanku menurut pengamatan hamba pelayaran selanjutnya sangat sulit sebab pantai di sebelah barat ini sangat jauh menganjur ke laut. Seakan-akan tidak ada puting (bahasa Banjar : ujung) nya, serta gelombang di sana sangat besar”.
                Tempat yang dilaporkan nakhoda itu lalu dinamakan Pangeran Adipati Antakesuma dengan Tanjung Puting hingga sekarang. Setelah berpikir sebentar sehabis mendengarkan laporan nakhodanya tadi, Pangeran memutuskan perjalanan tetap akan dilanjutkan dengan memudiki sungai Pembuang itu sampai ke hulunya. Selanjutnya jika tidak mungkin lagi untuk dilayari, akan diteruskan lewat daratan dengan berjalan kaki terus ke arah barat.   
                Sesudah berpamitan dengan tetuha kampung Kuala Pembuang itu rombongan Pangeran pun berlayar mudik sungai Pembuang. Perjalanan mudik itu berlangsung perlahan-lahan, di setiap kampung mereka singgah dan bermalam. Walau pun perairan sungai sudah mulai sulit untuk dilayari karena arusnya yang deras dan banyak riam, namun Pangeran merasa seakan terpanggil untuk terus memudiki sungai Pembuang itu.
                Pelayaran mudik sungai mulai hanya dengan berdayung saja. Layar digulung dan diturunkan sebab di atas perairan sungai, cabang serta dahan pepohonan di setiap tebing baik kiri mau pun kanan sudah bertaut, sungai semakin menyempit.
                Sudah seminggu mereka berdayung dengan hanya berhenti di malam hari. Sudah beberapa dusun dan kampung telah disinggahi. Sudah banyak riam yang berarus deras dilewati, namun Pangeran tetap belum juga berhenti mudik seakan ingin mencari hulu dari sungai Pembuang itu.
                Suatu ketika rombongan perahu layar Pangeran Adipati Antakesuma itu berdayung mudik menyusuri rantau (bahasa Dayak Ngaju : tepi sungai yang lurus dan panjang) sisi kiri yang kesudahannya berakhir pada sebuah kampung yang cukup besar dan banyak penduduknya.
                Mereka pun berhenti dan bermalam di kampung itu, nampaknya kampung itulah yang selama ini melayangkan pulut (bahasa Banjar : pelet untuk burung, serasa terpanggil selalu untuk mendekat) nya terhadap Pangeran. Sebagai kenangan terhadap kampung itu, maka Pangeran Adipati Antakesuma menamakannya dengan Rantau Pulut.
                Mengenai siapa dirinya serta maksud perjalanannya hingga sampai ke tempat itu telah pula disampaikan oleh Pangeran kepada kepala kampung dan tetuha-tetuhanya. Mereka tidak keberatan atas niat Pangeran itu. Tetapi Pangeran mempertimbangkan kampung ini masih terletak dalam aliran sungai Pembuang yang telah membuangnya sebagai raja.
       Kali ini keinginan Pangeran untuk meneruskan perjalanan lewat sungai berhenti. Pangeran lalu memerintahkan untuk membongkar barang-barangnya serta selanjutnya kepada para nakhoda diperintahkan Pangeran untuk pulang kembali ke Bandar Masih, ibukota kerajaan Banjar. Semua perahu layar itu putar haluan untuk kembali.
                Pangeran berkata kepada kepala kampung Rantau Pulut : “Andika (bahasa Banjar : anda, saudara), untuk beberapa hari ini aku masih ingin bermalam dan beristirahat di kampungmu ini. Aku sangat berterimakasih atas sambutan dan penerimaan warga kampung ini. Aku ingin meneruskan perjalananku seperti tujuanku semula yakni mencari suatu tempat untuk mendirikan sebuah kerajaan. Sementara itu aku ingin memohon bantuanmu apakah kau tahu ada jalan darat yang dapat kulalui untuk pergi ke arah barat ?”
                 “Ada   tuanku,   sebuah   jalan  setapak  tua   sepanjang  bekas   galian   penambangan   emas   yang dilakukan orang-orang Cina yang dinamakan Parit Cina. Mungkin sekarang sudah menjadi semak belukar kembali sebab jarang dilalui, jalan ini menembus hulu sungai Arut di laman (bahasa Dayak Arut : kampung, desa, negeri) Pandau”, sahut kepala kampung Rantau Pulut dengan takzim (bahasa Arab : hormat) nya.
                Setelah cukup beristirahat maka Pangeran Adipati Antakesuma serta rombongannya pagi-pagi benar berangkat  dengan  berjalan kaki  ke arah barat  mengikuti  jalur jalan setapak Parit Cina. Menjelang
magrib mereka sampai di tepi sungai Arut, di laman Pandau. Rombongan Pangeran diterima warga laman tersebut dengan penuh keramahtamahan.
                Malam harinya Pangeran mengumpulkan sekalian warga laman Pandau tersebut dan mengutarakan siapa dirinya serta maksud perjalanannya.
                Lalu beliau melanjutkan : “Tiadakah hendak kalian semua berajakan aku ?”
                Sekalian tetua laman Pandau itu pun berucap : “Sudah kami pikirkan, dari pada kami manyula (bahasa Dayak Arut : mengabdi, mengantarkan upeti) ke Banjar terlalu jauh, lebih baik kami manyula yang dekat”.
                “Jika kalian saja yang menyetujuiku, bagaimana dengan laman-laman lainnya ?” tanya Pangeran pula lebih menjajaki.
                “Kami sekayu (bahasa Dayak Arut : sebatang kali, sepanjang sungai) Arut akan menunduk-kannya !” jawab sekalian warga laman Pandau itu.
                “Jika demikian kesungguhan hati kalian hendak berajakan aku, maka aku ingin bersumpah di hadapan kalian. Jika anak cucuku durhaka atau khianat kepada anak cucu kalian, maka mereka tidak akan selamat dunia akhirat. Demikian pula sebaliknya jika anak cucu kalian durhaka atau khianat kepada anak cucuku”, kata Pangeran.
                Untuk menguatkan sumpah janji itu kedua belah pihak mengorbankan warganya, masing-masing seorang lelaki suku Banjar dan seorang lelaki suku Dayak Arut.  Sebuah lobang digali  dan  keduanya  dikubur  hidup-hidup,  di atasnya diletakkan sebuah batu besar.  Orang-orang Arut mengenal batu tersebut dengan sebutan Pati Darah Janji Semaya.       
                Sedangkan Pangeran menamakan batu itu Batu Patahan karena ia sudah bertahan di tempat itu. Batu itu yang merupakan prasasti  “tumbal persaudaraan”  hingga kini masih ada di desa Pandau termasuk kecamatan Arut Utara kabupaten Kotawaringin Barat.
                Kemudian dekat Batu Patahan itu oleh Pangeran Adipati Antakesuma didirikan Balai Kakapa (bahasa Banjar : tempat jedah, bangunan beratap tanpa dinding), bahannya semua dari kayu jati bawaannya dari Banjar; asalnya dahulu itu bawaan Pangeran Surianata (raja Banjar pertama) dari kerajaan Majapahit. Ramai warga laman Pandau itu bergotongroyong membantu Pangeran mendirikan bangunan itu.
                Kepada warga sekayu Arut, Pangeran menghadiahi pusaka dari kerajaan Banjar yakni Sarampang Bakurung (sejenis trisula) dan Sangkuh Canggah (tombak berkait). Selain itu seluruh orang sungai Arut tidak dibenarkan atau tidak perlu menyembah anak cucu Pangeran Adipati Antakesuma.
                Sesudah cukup rasanya beristirahat maka Pangeran pun ingin meneruskan perjalanannya menghiliri sungai Arut serta kemudian memudiki sungai Lamandau.  Setelah dua hari lamanya berkayuh perahu sampailah ke sebuah laman yang bernama Tanah  Ambau  Tanjung  Pangkalan  Batu  yang berada di bawah pimpinan Kiai Gede dan Demung Tujuh (Demang Tujuh Bersaudara). 
                Patih Patinggi Diumpang, pemimpin suku sekayu Arut naik ke darat mendapatkan Kiai dan Demung Tujuh serta para tetuha dan warga laman itu seluruhnya.
                “Kami ini datang mengantarkan keluarga dari kerajaan Banjar. Nama beliau Pangeran Adipati Antakesuma dengan maksud untuk mendirikan kerajaan di sini”, demikian singkat kata Patih Patinggi Diumpang.
                Kiai Gede, Demung Tujuh serta seluruh warga laman Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu gembira mendengarnya. Sudah lama mereka ingin bertemu dan memiliki seorang raja, kali ini malah calon raja yang telah datang mengantarkan dirinya.
                Kiai Gede pun lalu basimpun (bahasa Banjar :  berbenah, berkemas) rumahnya. Sesudah basimpun itu Kiai Gede lalu turun ke tepi sungai Lamandau mendapatkan Pangeran Adipati Antakesuma, menghaturkan sembah dan mengajaknya naik ke darat bermalam di rumahnya. 
                Seluruh rombongan Pangeran naik dan disambut oleh warga laman Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu dengan penuh keramahan. Ramailah mereka itu saling bercerita dan berbagi pengalaman.
                Akan halnya Patih Patinggi Diumpang, ia memohon diri pada Pangeran untuk kembali ke lamannya, namun atas saran Kiai Gede, ia dan para pengikutnya pulang dengan jalan berputar lewat hulu sungai Lamandau.
                “Kau beritahulah warga di sekayu Lamandau dan pemimpin mereka Patih Jayang Pati, yang kita ini kedatangan raja dan saat ini berada di Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu”, demikian pesan Kiai Gede kepada Patih Patinggi Diumpang.
                  Sedangkan Kiai Gede mengirimkan pengikutnya ke Jelai dan Lawai (sekarang termasuk wilayah provinsi Kalimantan Barat), dan sekembalinya utusan itu semuanya membawa kabar yang menggembirakan,  menerima kedatangan Pangeran dan bersedia menghamba padanya.
                Pangeran lalu mendirikan istananya yang dinamakannya Istana Luhur Tiang Baukir dan  menetapkan undang-undang kerajaan dalam sebuah kitab yang dinamakan Kanun Kuntara.
                Selain itu dibangun pula perpatih (rumah jabatan mangkubumi/perdana menteri) yang dijabat oleh Kiai Gede dengan nama Gadung Bundar Nurhayati, juga perdipati (rumah jabatan panglima perang) yang namanya Gadung Asam, dan Paagungan (tempat menyimpan pusaka kerajaan), Paseban (tempat menghadap) serta sebuah surau yang mengalami perluasan dan perbaikan pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya yang hingga sekarang dikenal dengan nama masjid Kiai Gede.
                Selama masa pembangunan semua kelengkapan pemerintahannya itu Pangeran dan keluarganya tinggal di lanting (bahasa Banjar : rumah di atas rakit dari kayu log terletak di atas air, di tepi sungai), hingga ketika anak keduanya seorang perempuan lalu dinamakan Puteri Lanting.
                Di belakang areal pusat kerajaan itu terdapat sebuah danau sebagai perhuluan dari sungai Teringin (yang banyak ditumbuhi pohon beringin), anak sungai Lamandau, yang muaranya jauh berada di sebelah hilir dekat muara sungai Lamandau sendiri. Sekeliling Istana Luhur Tiang Baukir dibangun pagar pengaman tradisional dari papan kayu ulin tebal yang disebut kuta. Itulah sebabnya maka Pangeran Adipati menamakan tempatnya itu dengan Kuta Teringin, yang berubah menjadi Kutaringin serta kemudian akhirnya menjadi Kotawaringin.
                Setelah mendapat restu dari kakaknya Sultan Inayatullah, maka Pangeran Adipati Antakesuma mema’zul (bahasa Arab : mengangkat dengan banyaknya dukungan atau kekuatan) kan dirinya sebagai raja yang pertama dari kerajaan Kotawaringin dengan gelar Ratu Bagawan. Daerah kekuasaan kerajaan Kotawaringin meliputi sungai Mendawai (sungai Katingan) di sebelah Timur, sungai Sampit (sungai Mentaya), sungai Pembuang (sungai Seruyan), sungai Kumai, sungai Lamandau dan anaknya sungai Arut, hingga sungai Jelai di sebelah Barat.
                Untuk melindungi kerajaan Kotawaringin, para pengikutnya yang setia dan digjaya duduk bersamadi hingga gaib, pada beberapa pojok tertentu dari wilayah kerajaan tersebut dengan radius sekitar lima kilometer. Mereka itu adalah Datu  Batu Hitam, Raden Tukas Banua, Galeger Bosi, Puteri Emek-emek, Rangga Santrek, Rantai Wulung dan Simpai Dudung.
                Menjelang akhir hayatnya Ratu Bagawan (Pangeran Adipati Antakesuma) menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya Pangeran Mas Dipati, sedangkan mangkubumi masih dijabat oleh Kiai Gede. Kemudian Ratu Bagawan pulang ke Bandar Masih, meninggal dalam usia tuanya serta dikuburkan dalam satu kompleks makam dengan moyangnya Sultan Suriansyah, raja kerajaan Banjar yang ke delapan di kampung Kuin Utara, kabupaten Banjar provinsi Kalimantan Selatan.      (*)(*)

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

  Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup ...