Senin, 20 Mei 2013

Manen, Pembuat Banama Sungkai


Manen, Pembuat Banama Sungkai

Oleh  :  Abdul Fattah Nahan

          Manen adalah putera bungsu dari tamanggung (gelar kebesaran bagi pemimpin suku atau sebuah betang)  Baya, yang ketika hidupnya adalah seorang pemimpin sebuah desa di daerah sungai Kahayan. Keenam saudara Manen yang lainnya baik lelaki mau pun perempuan semuanya telah berkeluarga. Tinggal ia seorang diri yang belum, padahal banyak gadis-gadis di desanya yang tertarik padanya.
          Selain tampan, Manen seorang pemuda yang rajin bekerja. Waktunya tidak pernah lowong, tidak mau ia duduk-duduk mengobrol atau membual sambil minum-minum tuak seperti pemuda desa lainnya. Kalau tidak pergi ke ladang, pastilah ia manasal (menempa besi) membuat parang, mandau (senjata tradisional suku Dayak, sejenis parang), tombak dan peralatan dari besi lainnya.
          Sudah menjadi kebiasaannya api bekasnya bekerja menempa besi itu tidak dimatikannya. Puntung-puntung yang membara itu hanya ditutupi dengan abu, sehingga esok harinya mudah ia menyalakannya kembali untuk bekerja. Beberapa hari ini api yang ditutupinya itu selalu padam dengan sisa puntung-puntungnya yang berserakan. Manen jadi merasa terganggu, ulah siapa yang mengusik apinya untuk bekerja itu ?
          Suatu malam ia mengintai penyebab semua itu. Ketika waktu telah merambat melewati tengah malam dan hawa semakin dingin, dari arah tepi sungai muncullah seorang wanita yang amat cantik. Wanita itu mendekati tumpukan api Manen yang tertutup abu, membongkarnya dan menyusun puntung-puntung yang ada hingga api menyala kembali.  Badannya menggigil, nampaknya ia kedinginan, kedua tangannya dipanaskan di atas api.  Tak peduli ia pada keadaan sekitarnya.
         Menjelang  pagi,  puntung-puntung telah habis terbakar dan berserakan. Ia bangkit berdiri dan beranjak  pergi. Saat itulah Manen lalu mendekapnya dari belakang. Mereka bergulat dengan seru, wanita itu berontak namun akhirnya melemah karena Manen sangat kuat. Ini disebabkan ia seorang yang setiap hari bekerja keras, hingga tenaganya pun luar biasa.
          “Rupanya kaulah orangnya yang merusak apiku selama beberapa hari ini. Sebagai penebus kesalahanmu itu kau harus ikut aku, sebagai pendamping hidupku”,  kata Manen kepada wanita itu.
          “Lepaskanlah aku. Tidak mungkin kita dapat hidup bersama karena aku makhluk dalam air, anak bungsu dari Jata (penguasa alam bawah, dalam air sungai dan lautan).  Mustahil aku dapat tinggal di muka bumi ini,  jawab wanita itu.
          Tiba-tiba terdengar suara menggelantung di udara dari arah sungai  : “Anakku, mungkin pemuda inilah jodohmu. Aku tahu selain mempunyai utus (keturunan), ia seorang yang gagah berani, berbudi baik dan setia. Engkau sendiri agak kurang cocok hidup dalam air, sehingga sampai naik ke darat mencari api untuk berdiang. Ayah restui hubungan kalian berdua.”  
          Semburat sinar matahari pagi menyinari mereka berdua yang berbimbingan tangan pulang ke rumah Manen. Orang sekampung gempar karena Manen pagi-pagi sekali sudah jalan-jalan berduaan dengan seorang wanita yang tidak tertandingi kecantikannya.
          Manen menemui ibunya dan menceriterakan semua peristiwa itu serta memohon restunya untuk mengawini Bawin Jata (anak perempuan Jata, penguasa dalam air mahluk super natural) tersebut.  Ibu yang arif serta sangat menyayangi Manen itu langsung segera menyetujuinya. Semua saudara Manen sangat menentang niat Manen itu, anggapan mereka Bawin Jata itu hanyalah taluh penda danum (hantu atau roh yang hidup dalam air).
          Akhirnya perkawinan antara Bawin Jata dan Manen pun berlangsung, semua yang hadir kagum melihat pasangan itu yang sangat serasi. Pengantin lelakinya tampan sedang pengantin wanitanya bagaikan bidadari. Beberapa  tahun  berlalu  dengan  tenteram hingga terjadi peristiwa yang susul menyusul menimpa desa itu. Setiap wanita hamil tua atau yang habis melahirkan dan bayi-bayi, pasti mendapat sakit kejang-kejang lalu meninggal dunia. 
  Wanita-wanita yang pernah menaruh hati pada Manen dahulu dan walau pun Manen sekarang sudah berkeluarga dengan empat orang puteranya, masih menaruh hati, mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan Manen yang menolak cinta mereka dahulu dengan adanya peristiwa kematian beruntun ini. Salah seorang di antara mereka itu yang sedang hamil tua berpura-pura kemasukan, yang lalu dengan wajah  ketakutan  berteriak-teriak : “Bawin Jata !  Bawin Jata !”
          Semua yang mendengarnya lalu menanggapi bahwa penyebab seluruh kematian selama ini adalah akibat perbuatan Bawin Jata, isteri Manen yang tidak tentu asal usulnya yang pasti seorang hantimang (kuyang, palasik, manusia berilmu hitam yang bagian kepalanya terbang mencari mangsa waktu malam hari).  Akibatnya sangatlah fatal, orang sekampung mendatangi rumah Manen ingin mengamuk. Untung kepala desa dapat mencegahnya serta menenangkan mereka.
          Manen lalu berkata : “Para warga sekalian. Coba kalian pikir, kematian paling baru terjadi pagi ini.  Paman Sangen yang tinggal serumah dengan kami melihat, pada saat yang sama itu isteriku sedang menyusui anak kami yang bungsu sambil memasak. Bagaimana dapat ia membagi dirinya untuk mendatangi rumah orang yang baru melahirkan itu ?  Wajarkah kata-kata orang yang kerasukan dijadikan pegangan ?”
          Paman Manen yang bernama Sangen serta kepala desa terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.  Orang-orang yang ingin mengamuk itu mundur dan menghilang satu persatu tanpa mengucapkan sepatah kata.
          Manen sedih atas nasib isteri berikut keluarganya yang terkena fitnah itu.  Ia sangat yakin isterinya tidak bersalah dan bukan seorang mahluk jadi-jadian yang jahat. Manen lalu mengajak  keluarganya pindah,  menjauhkan diri dari kampungnya itu. Mereka  lalu  tinggal  jauh di  belakang  desa  dekat tepi  danau  Lewu  yang  sekarang  dinamakan  kaleka  (bekas  pemukiman) Labehu Bunter. Sambil berladang Manen membuat sebuah banama (perahu besar) dari kayu sungkai. Lima tahun lamanya banama itu serta tatas (rintisan jalan) untuk jalan ke luarnya banama nanti menuju sungai Kahayan, dikerjakan oleh Manen seorang diri.
          Setelah siap semuanya, maka barang-barang dan keluarganya serta semua ternaknya lalu dimuatkan ke dalam banama itu. Manen memang telah mempunyai rencana pergi jauh meninggalkan kampung halamannya. Ia telah memutuskan untuk lebih mencintai keluarganya sendiri dari pada segenap saudara dan babuhannya (keluarga, kerabat) yang nampak tidak mengacuhkannya lagi sebab termakan fitnah tersebut.
          Pada suatu malam di bulan purnama, banama itu ke luar lewat tatas yang dibuatnya menuju sungai Kahayan lalu menghilir ke arah muara. Sesudah dua puluh hari terkatung-katung di laut, akhirnya menjelang fajar terlihatlah daratan sebuah pulau yang nampaknya berpenghuni. Ayam jantan Manen lalu berkokok ketika banama itu menyentuh bibir pantai. 
          Manen dan ketiga anak lelakinya meloncat turun dan menjejakkan kakinya ke pasir pantai. Manen menggerak-gerakkan tubuhnya agar lemas karena hampir sebulan duduk memegang kemudi. Anak-anaknya berlarian sambil melemparkan gumpalan pasir satu sama lain. Mereka gembira karena selama ini duduk terkurung dalam palka (ruang barang di bawah dek)  yang sempit.
          Tiba-tiba beberapa orang berpakaian hitam-hitam, dengan celana setinggi lutut dan berikat kepala hitam dengan kumis lebat hitam melintang, memegang tombak mendatangi Manen. Mereka menganggukkan kepala rupanya memberi hormat. Semula Manen sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan mereka. Namun akhirnya dengan hanya berbahasa isyarat  Manen dan orang-orang itu, yang  ternyata adalah  para  punggawa (pengawal kerajaan) dari sebuah kerajaan di pulau itu, dapatlah menjalin percakapan yang berjalan dengan lancar.
          Seorang di antara punggawa itu berkata : “Kedatangan saudara ke kerajaan kami di pulau ini telah diketahui raja kami. Itu karena suara kokok ayam jantanmu, sedangkan di kerajaan ini tidak ada lagi ayam jantan yang berkokok karena semua mati.  Jika ada ayam jantan yang dapat  mengalahkan  ayam jantan raja, maka raja sendiri kemudian turun berkelahi sampai mati dengan pemiliknya.  Jika  pemiliknya mati  ayamnya pun kemudian dibunuh pula.
          Punggawa lainnya berkata menambahkan : “Belum ada yang mampu untuk mengalahkan raja kami yang bernama Arya Pecutanda yang sakti dan kebal itu. Ayam saudara telah berkokok, itu berarti ayam dan pemiliknya telah menantang raja.”
          “Waah, aku tidak berniat seperti itu. Mana kutahu ada peraturan seperti itu di sini. Aku hanya ingin menetap di sini, mengadu untung mencari kehidupan baru yang jauh dari kampung halamanku di seberang laut ini. Biarlah nanti ayamku itu akan kupotong untuk dimakan saja,  jawab Manen dengan sopannya merendahkan diri.
          Punggawa itu memegang tangan Manen dan berkata : “Jangan kau bunuh ayammu itu. Mungkin nasibmu baik, dapat mengalahkan ayamnya serta dirinya pula. Sudah tidak tahan kami mengabdi pada raja yang demikian kejamnya itu. Tapi semua arya (gelar bangsawan orang Madura)  lainnya tidak dapat dan tidak berani melawannya. Walau pun ayammu kau bunuh, kau pula yang dibunuhnya dan seluruh milikmu dirampas. Sudahlah besok kau kami jemput, jadi beristirahatlah kau dahulu.  Kami dan semua arya yang ada akan mendoakan kemenanganmu. Semoga raja mendapat musuh yang dapat mengalahkannya kali ini.” Setelah kembali memberi hormat para punggawa itu berlalu.
          Manen kembali ke atas banama mendapatkan isterinya dan  menceriterakan  tentang percakapannya dengan orang-orang itu. Ia menjadi sedih karena merasa  bersalah, ingin membawa keluarganya lari  dari kesulitan  malah mendatangi kesulitan baru yang nampaknya akan mengakhiri nyawa mereka semua.
          Dengan tersenyum Bawin Jata berkata : “Kak Manen, janganlah cemas. Bukankah engkau menantu Jata, dewata yang menguasai alam bawah ? Aku akan memohon bantuan ayahku demi keluarga kita. Kau hadapi saja tantangan itu besok.”
          Keesokan harinya Manen dijemput para punggawa dan dibawa menghadap raja mereka. Sebelum berangkat Bawin Jata menyerahkan sebilah  duhung  (senjata  tradisional  suku Dayak, mata berbentuk tombak) berhulu gading lengkap dengan sarungnya dari perak  berukir.
          Selama ini tidak pernah Manen melihat duhung itu, yang lalu disisipkannya di perutnya. Di halaman sebuah rumah besar dari kayu yang berukir indah telah disiapkan gelanggang menyabung  ayam.
          Sambil duduk  dikursinya Arya Pecutanda berkata pada Manen yang duduk berjongkok, seraya mengelus-elus ayamnya :  “Hai orang asing !  Mungkin sudah kau ketahui dari punggawa, tapi akan kuulang kembali tentang peraturan pertandingan kita ini. Jika ayammu kalah, ayam itu harus dibunuh. Kau dan keluargamu bebas tetapi hartamu kuambil.  Jika ayammu menang, pertandingan dilanjutkan antara kau dan aku sampai ada yang mati. Andai kau mati, keluargamu pun kubunuh dan hartamu jadi milikku. Andaikata  aku yang mati ambillah kerajaanku sebagai milikmu. Bila kau takut bertanding dan membunuh ayammu, kau sekeluarga menjadi budakku dan hartamu kuambil. Suka tidak suka itulah peraturanku.”
          Dengan tenang Manen menjawab : “Aku hidup dengan satu pandangan. Di mana buminya kupijak, adat dan aturannya akan kuturuti.”
          Singkat cerita persabungan ayam pun dimulai. Ayam raja itu masih ditambah dengan taji dari besi kecil yang tajam setiap sisi di kedua kakinya,  sedangkan ayam jantan Manen hanya taji aslinya  yang cukup panjang juga. Dan, dalam persabungan itu ayam rajalah yang kalah.
          Ayam Manen cukup cerdik, tajinya pada gebrakan yang pertama. langsung mengenai mata ayam jago raja. Setelah ayam raja kelimpungan tidak dapat melihat, dengan ganas bertubi-tubi ayam Manen menikamkan tajinya hingga ayam raja mengeok kesakitan dan berlari pergi.
          Arya Pecutanda berdiri dari kursinya dengan wajah memerah, mendekati Manen lalu membawanya mendekati sebuah lubang dalam tanah. Lubang itu adalah sebuah sumur kering, garis tengahnya satu meter dan dalamnya setinggi bahu.
          Arya lalu berkata : “Inilah tempat kita bertarung sampai mati. Biarlah aku turun lebih dahulu.”
          Setelah keduanya bersiap, telah sama berdiri tegak berhadapan dalam lubang itu, Arya Pecutanda berkata lagi :  Arya Wiraraja, tolong kau hitung sampai tiga untuk kami berdua bertikam.”
          Tepat pada hitungan ketiga, tangan kedua orang itu bergerak dengan cepat mencabut senjata masing-masing. Akan halnya Manen, bagai kilat kedua tangannya mencabut duhungnya ke atas lalu menyorongkannya ke perut Arya Pecutanda dengan deras sampai ke gagangnya.
          Ujungnya menembusi badan Arya dan menancap di dinding lubang itu hingga Arya seperti dipakukan.  Kepala Arya terkulai, wajahnya yang hitam semakin kelam terkena duhung beracun itu. Ia tidak sempat sama sekali mencabut kerisnya yang terselip di punggung. Kedua tangannya terbentur dinding lubang. Karena Manen menusuk sambil merapatkan badannya, hingga kedua tangan Arya tidak leluasa bergerak.
          Para arya dan orang banyak di atas lubang bersorak, raja yang kejam dan ditakuti itu telah mati. Beramai-ramai mereka mengangkat Manen keluar lubang dan menggotongnya naik ke rumah besar, istana kerajaan itu. Isteri dan anak-anaknya dijemput mereka dan diusung dengan hormatnya. Semuanya setuju dan merelakan Manen si orang asing sebagai rajanya.
          Manen bertindak bijaksana dengan membebaskan seluruh budak yang ada. Bagi beberapa orang yang masih ingin tinggal bersamanya dan membantunya bukan lagi dianggap sebagai budak melainkan seperti keluarga sendiri dan diberi upah yang layak.
          Setiap orang boleh memelihara ayam jantan lagi dan kebebasan menyabung ayam seperti biasa. Peraturan Arya dihapuskan karena Manen sendiri hanya memelihara saja, tidak menyabungkan ayamnya.  
          Keturunan  Manen  kemudian  berbaur dengan penduduk asli pulau itu yakni pulau Madura. Oleh sebab itu orang-orang Madura yang merupakan keturunan Manen, kaum lelakinya telinganya sebelah bertindik (lubang telinga untuk mengaitkan subang) sedang-kan perempuan bergelang di kaki. Jika ditanya silsilahnya, mereka pasti menjawab : “Kami adalah anak cucu Datu Manen dari seberang, dan orang Dayak adalah saudara kami.”
          Bekas mendaratnya Manen di pulau Madura hingga kini masih dapat dilihat, banamanya telah berubah menjadi sebuah batu besar berbentuk sepotong sabut kelapa. Letaknya di Tanjung Piring  dekat desa Nipah, kecamatan Ketapang kabupaten Sampang. Batu itu ditumbuhi beringin, merupakan tempat orang berhajat dan dikeramatkan.        
          Kabar tentang kehidupan Manen sampai ke kampungnya, dibawa  oleh  pelaut-pelaut  Madura  yang berdagang sapi ke pulau Kalimantan. Sepeninggalnya Manen sekeluarga tetap saja banyak wanita hamil dan bayi yang mati sehabis melahirkan. Ketika mereka manyanggar (menyelenggarakan upacara tolak bala) menanyakan sebabnya dengan para dewa, diperoleh petunjuk hal ini disebabkan kurangnya menjaga kebersihan lingkungan serta peralatan sewaktu  melahirkan  itu sendiri.
          Seluruh penduduk dan sanak keluarga Manen menyesal atas perbuatannya.  Sebagai kenang-kenangan kepadanya desa mereka itu lalu dinamakan Manen Paduran, letaknya di tepi sungai Kahayan termasuk kecamatan Banama Tingang kabupaten Pulang Pisau.
         Kurang lebih lima belas menit berjalan kaki ke belakang desa Manen Paduran di sungai Rahai di tepi danau Lewu akan kita jumpai bekas galian sepanjang tiga puluh empat meter, lebar sepuluh meter dan dalam dua meter.  Menurut cerita orang tua-tua, mungkin galian ini adalah pola waktu Manen membuat banamanya. Di sekitar tempat itu berserakan tatalan kayu sungkai yang telah menjadi batu (fossil). ****

Minggu, 19 Mei 2013

Posting Pertama

Namanya pemula, jadi wajar kalau bingung untuk memilih apa sih yang mau diisi dalam Postingan Pertama dalam Blognya....
Termasuk  saya yang masih bayi dalam dunia Blogger ini hehehe.

Banyak sekali Tutorial yang kita dapatkan di Search Engines yang bisa kita pakai sebagai acuan untuk memulai sebuah tulisan di sebuah Blog seperti yang telah aku lakukan untuk reverensi memulai ceritaku ini :)

Walau masih belum teratur tidak salahnya untuk terus mencoba... Aku semakin semangat nih di dunia baru ini...

Mohon dukungan dan Tips nya ya.......... 

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

  Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup ...