Senin, 10 Maret 2014

Habukung Dalam Upacara Kematian

Bukung
Dalam suatu upacara kematian di beberapa daerah yang ada di kalimantan Tengah, ada dikenal suatu acara yang disebut dengan Habukung. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh-tokoh agama Hindu Kaharingan mengenai latar belakang diadakannya Upacara Ritual Habukung yaitu berawal dari suatu legenda pada zaman dahulu kala pada sebuah dusun atau pemukiman yang terdiri dari 7 (tujuh) buah rumah, terjadilah suatu peristiwa yang menimpa seorang pemuda dusun tersebut yang baru saja membina rumah tangga kurang lebih berjalan 1 (satu) tahun. Pada hari itu terjadilah suatu musibah yang tidak disangka-sangka, istrinya yang sedang menggandung sekitar 7 bulan , tiba-tiba meninggal dunia. Karena istrinya meninggal dunia tersebut, sang suami sangat bersedih sekali dan selalu menangis sambil memeluk mayat istrinya. Dan selama itu juga sang suami tidak mau makan dan berbicara dengan siapa pun. Orang tua dan pihak keluarga pemuda tersebut selalu berupaya untuk menesehati pemuda tersebut agar mayat istrinya segera dimakamkan, tetapi tidak ada jawaban yang keluar dari mulut pemuda tersebut dan ia pun tetap berbaring sambil memeluk mayat istrinya.

Pihak keluarga mulai gelisah guna mencari jalan keluar untuk membujuk sang pemuda tersebut agar mau memakamkan istrinya, dan kurang lebih berjalan 15 (lima belas) hari, pada suatu malam ayah sang pemuda bermimpi bertemu seseorang dan orang tersebut berkata kami akan menolong bapak untuk menghibur anak bapak yang ditinggalkan istrinya dengan cara berangsur – angsur dan beritahu kepada penduduk lainnya jangat takut atas kedatangan kami yang aneh-aneh. Setelah terbangun pada pagi harinya, maka sang ayah segera bangun untuk memberitahukan mimpi tersebut kepada warga setempat.

Pada malam harinya sekitar pukul 21.00, terdengarlah suara gemuruh dan derap-derap kaki dan diselingi suara musik gong dan lainya, kemudian muncullah orang banyak sekali memakai suatu topeng yang terbuat dari kayu Palawi. Topeng inilah yang disebut dengan Bukung. Sambil membunyikan alat-alat musik dan disertai dengan berbagai macam tarian sambil membunyikan bamboo yang dibuat sedemikian rupa yang disebut dengan “Selekap”. Tarian tersebut dibuat dengan gaya yang lucu-lucu sehingga membuat orang yang melihat terhibur dan tertawa-tawa.

Begitulah bukung tersebut datang setiap malam, sehingga sang pemuda yang istrinya meninggal tersebut berangsur-angsur membaik sudah mau makan dan berbicara dengan orang lain.

Bukung – bukung itu datang setiap malam sambil membawa uang, barang- barang lainya yang akan disumbangkan kepada keluarga yang mengalami musibah menginggal dunia tersebut. Hal ini berlangsung selama beberapa malam, sehingga bermacam-macam bentuk dan pakaian yang dipakai serta sda yang membungkus dirinya dengan rumput, daun pisang dan lain-lain. Selama beberapa malan tersebut setelah adanya bukung tersebut, maka banyak sekali barang-barang sumbangan yang diberikan menumpuk seperti beras, gula, kopi, ayam, babi dan lainnya.

Selanjutnya pada suatu malam pihak keluarga sang pemuda memyampaikan kepada pemuda yang istrinya meninggal dunia rencana untuk memakamkan istrinya. Hasilnya sang suami setuju untuk memakamkan istrinya sampai pada ketentuan bahwa keluarga harus menyiapkan biaya untuk pelaksanaan penguburan dengan bantuan bukung tadi (biaya yang sudah ada). Menyelang hari pelaksanaan pemakaman bukung berjalan terus tiap malam tanpa henti. Tepat pada hari pemakaman, bukung terus diadakan sampai peti jenasah (raung) dibawa ke liang lahat (dikuburkan). Dan bukung yang terakhir ikut mengangkat dan membawa peti jenasah ke kuburan, bukung yang ikut mengangkat peti jenasah tersebut yaitu bukung kinyak atau bukung belang.****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

  Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup ...