Selasa, 11 Februari 2014

Balian Wanita Dari Dendem Entem


Balian  Wanita  Dari   Dendem  Entem


SUASANA dalam sebuah rumah betang di puncak puruk (bukit berbatu) Dendem Entem sudah sunyi senyap. Tidak terdengar lagi suara tawa canda, obrolan bahkan bisik-bisik sekalipun; hanya suara dengkur bersahut-sahutan. Lampu-lampu nyating (terbuat dari damar, getah kayu hutan yang mengental) sudah berpadaman, dalam betang (rumah panjang tradisional suku Dayak, dihuni berpuluh-puluh keluarga) keadaannya gelap gulita. Tetapi dari satu-satunya karung (kamar) yang lawang (pintu) nya menghadap ke tengah betang, terdengar suara-suara lirih berbisik.

 Rentik, ini aku”, terdengar bisikan seorang lelaki.

 “Siapa itu ?  Pergilah tidur, jangan menggangguku !”, suara seorang perempuan menimpal.

 “Ini aku, bang Siang”, bisik suara lelaki tadi kembali.

 “Apa gerangan niatmu di tengah malam seperti ini ?”, tanya perempuan tadi.

 “Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, karena aku ..........”, suara si lelaki lalu terpotong.

 “Jika yang kau sampaikan masih seperti dulu, aku masih menyediakan jawaban yang sama yakni tidak.  Jika tidak puas, nyalakan lampu !  Biar kita berbicara di tempat terang, di tengah betang”,  ucap si perempuan dengan tegas. Nampaknya lelaki yang bernama bang Siang itu memang seorang yang tidak tahu diri, tangannya mulai nakal merayapi tubuh si perempuan.

 “Kembalilah ke tempatmu saudaraku. Sebagai sanak sendiri jangan merusak nama baik betang ini”,  terdengar suara si perempuan dengan perlahan tetapi tegas. 

Pernyataan keras namun diucapkan dengan lembut itu ditafsirkan lain oleh bang Siang.  Dianggapnya semua ucapan Rentik itu tidak sungguh-sungguh.  Tanpa pikir panjang lagi bang Siang meraih tubuh Rentik ingin memeluknya.

 “Hei enyahlah kau, lelaki tidak tahu diri !  Keluar !”,  mendadak terdengar suara yang lebih nyaring dengan nada tinggi dari mulut Rentik. Akibatnya semua yang terlelap jadi terbangun saking terkejutnya. Suasana menjadi ribut,  nyating lalu dinyalakan.  Semua orang lalu  memasuki kamar satu-satunya yang ada di betang itu.  Terlihat bang Siang tertunduk lemas karena takutnya.

 “Alangkah beraninya kau masuk ke karung mina (bibi) ku ?”, hardik seorang pemuda pada bang Siang.  

 “Sesungguhnya aku mau mengatakan tentang ................”, ucap bang Siang memelas, mencoba untuk berdalih.

 “Diam kau !  Jelas sudah bersalah masih are pander (banyak bicara) !”, hardik pemuda tadi.

 “Beri aku kesempatan, dengarkan penjelasanku ………”, ucap bang Siang.

 “Tidak perlu !”, potong pemuda itu tadi.  Bang Siang tunduk terdiam.

 “Untuk menjelaskan persoalan, tidak bolehkah ia berbicara sedikit ?”, ucap seorang pemuda lain bertanya, nampaknya ia teman bang Siang.

 “Siapa itu yang ikut-ikutan ?”, seorang pemuda lain berseru.

 “Pukul saja bila mereka banyak ulah !”, seru seseorang menimpali.

 “Jangan main hakim sendiri kawan !”, kata teman bang Siang tadi.

Situasi semakin panas dan nampaknya sudah tidak terkendali lagi. Walau pun beberapa yang tua telah mencoba untuk menengahi, namun kaum mudanya tidak dapat dibendung. Pukulan, tamparan dan tendangan menerpa tubuh bang Siang. Kawan-kawan bang Siang tidak dapat berpangku tangan, melihat dan membiarkan semua itu terjadi. Akhirnya terjadilah perkelahian antara bang Siang dan tujuh orang temannya melawan para pemuda sebetang itu.

Dari perkelahian semula tangan kosong beralih menggunakan senjata berupa mandau dan tombak serta dari perkelahian dalam karung yang sempit beralih ke ruang tengah betang yang luas. Lampu nyating jatuh rebah ke lantai, amuk mereka itu dalam keadaan gelap gulita. Suara jerit kesakitan, erangan dan mengaduh terdengar di sana sini dalam kegelapan. Kesudahannya perlawanan bang Siang dan kawan-kawannya melemah. Satu persatu mereka berjatuhan, meninggal. 

Bilamana nyating telah dinyalakan terlihat tumpukan manusia yang terluka parah serta mayat di mana-mana. Ratap tangis keluarga yang ditinggalkan terdengar pilu malam itu. Diantara mayat-mayat itu ternyata seorang dari teman bang Siang tidak ada. Berarti ia dapat meloloskan dirinya, beberapa orang segera turun mencari di seputar puruk namun tidak dapat menemukannya.

Sebenarnya betang di puruk Dendem Entem yang menghadap ke tepi sungai Teweh itu bukanlah betang kediaman penduduk biasa, melainkan sebuah tempat yang fungsinya bagaikan asrama sekaligus sebuah sekolah. Di tempat itu dipelajari cara-cara melaksanakan balian (upacara pendekatan kepada Yang Maha Kuasa) untuk pengobatan meliputi manteranya, musik tradisionalnya, cara menarinya; memohon restu, membayar hajat dan sebagainya.

Rentik, walaupun masih muda sudah sangat mahir dalam melakukan upacara balian. Jadi boleh dianggap seperti pada masa kini ia adalah seorang guru, merangkap kepala sekolah sekaligus kepala asrama dari sebuah sekolah “balian”. 



Banyak sudah lamaran para pemuda bahkan diantaranya muridnya sendiri untuk mengambilnya sebagai isteri ditolaknya. Berasal dari sebuah keluarga yang cukup terpandang membuat Rentik dituakan orang-orang di perguruan tersebut. Sayangnya ia belum terpikir untuk bersuami, sehingga terjadilah peristiwa berdarah malam itu akibat perilaku bang Siang yang memaksanya.

Sebenarnya bang Siang sendiri bukanlah orang sembarangan.  Ia adalah adik bang Pak, kepala kampung Danuparui di sungai Ratah anak sungai Mahakam. Suku ini bertutang (tatto) warna merah dan terkenal masa itu sangat ganasnya, seseorang dari suku lain hanya dipandangnya dari banyaknya tengkorak kepala yang dikoleksinya dari hasil mengayau (memotong kepala musuhnya).  Bang Siang dan tujuh orang temannya secara kebetulan singgah di puruk Dendem Entem dari perjalanannya menjual balanga (tempayan).

Dari niatnya semula yang ingin berguru tentang balian, ketika terpandang wajah Rentik malah jatuh cinta dan ingin menyuntingnya seperti pemuda-pemuda sebelumnya. Kenekadannya menyebabkan hilangnya nyawanya sendiri dan enam orang temannya yang lain.

Seorang teman bang Siang yang berhasil meloloskan diri akhirnya sampai ke kampungnya. Semua keluarga di lamin (rumah panjang suku Dayak di daerah Kalimantan Timur) di kampung Danuparui itu menjadi sedih, setelah mendengar cerita tentang masalah yang dihadapinya sampai lolosnya dirinya. Bang Pak dan saudara-saudaranya bang Juk dan bang Irang serta tetuha lainnya lalu bermusyawarah.

Dengan amarah yang meluap bang Pak menarik kesimpulan dari musyawarah itu, katanya : “Matinya adikku dan teman-temannya harus dibalas. Kita semua adalah keluarga yang berpantang untuk membawa hutang piutang ke liang kubur. Bagi yang merasa punya piutang dengan orang-orang di tepian sungai Teweh itu bergabunglah denganku !  Keluarga yang lainnya jagalah kampung kita”.

 “Sebaiknya lelaki yang sudah uzur (lemah dan lanjut usia), kaum wanita dan anak-anak saja yang tinggal”,  seorang tetuha menambahkan.

Bulat mufakat dan tekad mereka, piutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Maka segenap lelaki dewasa kampung Danuparui dan malah dibantu semua lelaki dari lamin-lamin sepanjang gunung Meling sampai gunung Durung Ayuh. Di bawah pimpinan bang Pak mereka yang banyaknya sekitar 500 orang itu mulailah bergerak pergi menuju sungai Teweh.

Di puruk Dendem Entem sendiri, Rentik sudah memperhitungkan datangnya pembalasan. Pepohonan di lereng puruk ditebang dan dipotong sepanjang dua meteran dan dijadikan pagar kayu bulat dengan singkang (diameter) sejengkal serta dipasang tegak yang disebut kuta.  Sekeliling punggung puruk dibuat parit yang lebar mengelilingi betang.

Sedikit perasaan cemas terbersit di hati Rentik, sebab mereka kekurangan tenaga untuk bertempur.  Desa-desa dan keluarga-keluarga di sekitar Dendem Entem tidak dapat memberikan bantuan.  Para pemudanya saat itu kebanyakan sedang pergi ke perairan muara sungai Barito untuk menghadapi kawanan bajak laut manca negara yang sedang merajalela.

Akhirnya gerombolan bang Pak tibalah di kaki puruk, seorang utusan dikirim meminta penyerahan tanpa syarat. Melihat banyaknya musuh semula Rentik ingin berdamai saja, namun utusan itu sombong sekali sikapnya dan menyampaikan pesan pimpinannya bahwa mereka tidak ingin berdamai.

 “Kita terpaksa harus menghadapi mereka.  Tempat ini tidak mungkin dapat dihancurkan mereka. Kita akan mendapat bantuan dari nayu (roh para leluhur) bila mereka sampai menjejakkan kaki di halaman betang kita ini.  Percayalah padaku !” kata Rentik membesarkan hati anak buahnya.

Setelah utusan berlalu mereka pun bersiap. Pintu kuta ditutup, disela-sela pagar kuta berdiri para penyumpit dengan damek (anak sumpitan) beracun. Terlihat mereka itu bergerak maju ke atas puruk, tetapi tidak segera menyerang.  Ternyata mereka mempersiapkan haramaung nyaran,  sebuah perisai besar dari baner (akar papan pohon besar yang tebal) yang diberi beroda,  para penyerang berada di bawahnya.  Haramaung nyaran itu diperlengkapi dengan alat pelontar bagaikan katapel.

Batu-batu sebesar buah kelapa beterbangan dan merubuhkan pagar kuta.  Rentik dan anak buahnya mundur ke tepi parit yang di dalamnya dipasangi suah (bambu runcing), sambil dengan gencar tetap menghembuskan dameknya.

Para penyerang menghadapi hujan damek itu dengan perisai sambil melindungi teman-temannya yang mengangkat kayu-kayu pagar kuta yang rebah tadi untuk menutup parit membuat jalan menyeberang. Orang-orang bertatto merah gerombolan bang Pak ini memang ahli berperang ketimbang Rentik dan anak buahnya yang hanya pandai menari dan melaksanakan upacara tradisional.

Akhirnya anak buah Rentik mundur dan bertahan di bawah pelataran betang dan terus menghembuskan dameknya.  Selain itu mereka membuat api unggun dengan maksud asapnya dijadikan sebagai tirai berlindung. Asap membumbung tinggi menutup pemandangan, betang jadi terlindung dibaliknya. Rentik naik, membakar kemenyan serta memerintahkan kaum wanita untuk memukul garantung (gong). 

Ketika para penyerang anak buah bang Pak telah dapat menyeberangi parit dan anak buah Rentik juga maju menyambangi dengan bersenjatakan tombak dari sumpitannya, tiba-tiba terdengar suara riuh dari atas betang.

 “Lulu lulu lulu hui !”  Itulah suara lahap (sorak kegembiraan) anak buah Rentik.

 “Kita pasti menang !  Kita pasti menang !  Dia datang !  Dia datang !” Teriak gembira berkumandang dari atas betang ke mana-mana. Bersamaan dengan itu pula berhembus angin yang hawanya dingin dari puncak puruk dan perlahan membuyarkan tirai asap yang dibuat anak buah Rentik. Dari seberang parit bang Pak melihat bangunan betang di puruk Dendem Entem itu dengan mulut ternganga.

Di atas atap betang terlihat puluhan orang lelaki mengenakan sangkarut (pakaian kebesaran suku Dayak bentuknya seperti rompi terbuat dari kulit kayu) berwarna merah sedang menari perang. Di tangan mereka tergenggam mandau (senjata tradisional suku Dayak berbentuk parang) yang terlihat semakin membara.  Sedangkan di pelataran betang nampak Rentik masih menaburkan beras berkunyit dengan mulutnya yang komat-kamit.  Kaum wanita anak buahnya dengan gencar memalu garantung dengan irama berbau kematian.

Bang Pak yang banyak pengalamannya melihat semua itu menjadi ciut nyalinya. Ini sudah sangat berbahaya, sebab Rentik ternyata benar-benar seorang balian wanita muda yang piawai. Ia dapat dengan mudah memanggil nayu untuk membantunya.  Bang Pak berseru memerintahkan anak buahnya untuk segera mundur,  jelas untuk melawannya tidaklah mampu.

Para penyerang itu berlarian mundur menyeberangi parit, namun warga puruk Dendem Entem tidak mengejarnya dan membiarkan saja musuhnya itu pergi.  Kemudian semuanya menghilang dalam kelebatan rimba di kaki puruk di bawah sana.

Warga puruk Dendem Entem berkumpul, mereka mengerumuni ketuanya Dayang Rentik, balian wanita yang handal itu. Sebagian mereka masih heran, kemana perginya nayu yang tadi terlihat di atas betang mereka itu.  Sejak itulah di kalangan suku Dayak dikenal adanya upacara memanggil arwah nenek moyang untuk meminta bantuan dalam menghadapi serangan musuh.~~~~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

  Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup ...