Balian Wanita Dari Dendem Entem
SUASANA dalam sebuah rumah betang di puncak puruk (bukit berbatu) Dendem Entem sudah sunyi senyap. Tidak terdengar lagi suara tawa canda, obrolan bahkan bisik-bisik sekalipun; hanya suara dengkur bersahut-sahutan. Lampu-lampu nyating (terbuat dari damar, getah kayu hutan yang mengental) sudah berpadaman, dalam betang (rumah panjang tradisional suku Dayak, dihuni berpuluh-puluh keluarga) keadaannya gelap gulita. Tetapi dari satu-satunya karung (kamar) yang lawang (pintu) nya menghadap ke tengah betang, terdengar suara-suara lirih berbisik.
“Rentik,
ini aku”, terdengar bisikan seorang lelaki.
“Siapa itu ?
Pergilah tidur, jangan menggangguku !”, suara seorang perempuan
menimpal.
“Ini aku, bang
Siang”, bisik suara lelaki tadi kembali.
“Apa gerangan niatmu di tengah malam seperti
ini ?”, tanya perempuan tadi.
“Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu, karena
aku ..........”, suara si lelaki lalu terpotong.
“Jika yang kau sampaikan masih seperti dulu,
aku masih menyediakan jawaban yang sama yakni tidak. Jika tidak puas, nyalakan lampu ! Biar kita berbicara di tempat terang, di
tengah betang”, ucap si perempuan dengan
tegas. Nampaknya lelaki yang bernama bang Siang itu memang seorang yang tidak
tahu diri, tangannya mulai nakal merayapi tubuh si perempuan.
“Kembalilah ke tempatmu saudaraku. Sebagai
sanak sendiri jangan merusak nama baik betang ini”, terdengar suara si perempuan dengan perlahan
tetapi tegas.
Pernyataan
keras namun diucapkan dengan lembut itu ditafsirkan lain oleh bang Siang. Dianggapnya semua ucapan Rentik itu tidak
sungguh-sungguh. Tanpa pikir panjang
lagi bang Siang meraih tubuh Rentik ingin memeluknya.
“Hei enyahlah kau, lelaki tidak tahu diri
! Keluar !”, mendadak terdengar suara yang lebih nyaring
dengan nada tinggi dari mulut Rentik. Akibatnya semua yang terlelap jadi
terbangun saking terkejutnya. Suasana menjadi ribut, nyating lalu dinyalakan. Semua orang lalu memasuki kamar satu-satunya yang ada di
betang itu. Terlihat bang Siang
tertunduk lemas karena takutnya.
“Alangkah beraninya kau masuk ke karung mina (bibi) ku ?”, hardik seorang
pemuda pada bang Siang.
“Sesungguhnya aku mau mengatakan tentang
................”, ucap bang Siang memelas, mencoba untuk berdalih.
“Diam kau !
Jelas sudah bersalah masih are
pander (banyak bicara) !”, hardik pemuda tadi.
“Beri aku kesempatan, dengarkan penjelasanku
………”, ucap bang Siang.
“Tidak perlu !”, potong pemuda itu tadi. Bang Siang tunduk terdiam.
“Untuk menjelaskan persoalan, tidak bolehkah
ia berbicara sedikit ?”, ucap seorang pemuda lain bertanya, nampaknya ia teman
bang Siang.
“Siapa itu yang ikut-ikutan ?”, seorang pemuda
lain berseru.
“Pukul saja bila mereka banyak ulah !”, seru
seseorang menimpali.
“Jangan main hakim sendiri kawan !”, kata
teman bang Siang tadi.
Situasi
semakin panas dan nampaknya sudah tidak terkendali lagi. Walau pun beberapa yang
tua telah mencoba untuk menengahi, namun kaum mudanya tidak dapat dibendung.
Pukulan, tamparan dan tendangan menerpa tubuh bang Siang. Kawan-kawan bang
Siang tidak dapat berpangku tangan, melihat dan membiarkan semua itu terjadi.
Akhirnya terjadilah perkelahian antara bang Siang dan tujuh orang temannya
melawan para pemuda sebetang itu.
Dari
perkelahian semula tangan kosong beralih menggunakan senjata berupa mandau dan
tombak serta dari perkelahian dalam karung yang sempit beralih ke ruang tengah
betang yang luas. Lampu nyating jatuh rebah ke lantai, amuk mereka itu dalam
keadaan gelap gulita. Suara jerit kesakitan, erangan dan mengaduh terdengar di
sana sini dalam kegelapan. Kesudahannya perlawanan bang Siang dan
kawan-kawannya melemah. Satu persatu mereka berjatuhan, meninggal.
Bilamana
nyating telah dinyalakan terlihat tumpukan manusia yang terluka parah serta
mayat di mana-mana. Ratap tangis keluarga yang ditinggalkan terdengar pilu
malam itu. Diantara mayat-mayat itu ternyata seorang dari teman bang Siang
tidak ada. Berarti ia dapat meloloskan dirinya, beberapa orang segera turun
mencari di seputar puruk namun tidak dapat menemukannya.
Sebenarnya
betang di puruk Dendem Entem yang menghadap ke tepi sungai Teweh itu bukanlah
betang kediaman penduduk biasa, melainkan sebuah tempat yang fungsinya bagaikan
asrama sekaligus sebuah sekolah. Di tempat itu dipelajari cara-cara
melaksanakan balian (upacara
pendekatan kepada Yang Maha Kuasa) untuk pengobatan meliputi manteranya, musik
tradisionalnya, cara menarinya; memohon restu, membayar hajat dan sebagainya.
Rentik,
walaupun masih muda sudah sangat mahir dalam melakukan upacara balian. Jadi
boleh dianggap seperti pada masa kini ia adalah seorang guru, merangkap kepala
sekolah sekaligus kepala asrama dari sebuah sekolah “balian”.
Banyak
sudah lamaran para pemuda bahkan diantaranya muridnya sendiri untuk
mengambilnya sebagai isteri ditolaknya. Berasal dari sebuah keluarga yang cukup
terpandang membuat Rentik dituakan orang-orang di perguruan tersebut. Sayangnya
ia belum terpikir untuk bersuami, sehingga terjadilah peristiwa berdarah malam
itu akibat perilaku bang Siang yang memaksanya.
Sebenarnya
bang Siang sendiri bukanlah orang sembarangan.
Ia adalah adik bang Pak,
kepala kampung Danuparui di sungai Ratah anak sungai Mahakam. Suku ini bertutang (tatto) warna merah dan terkenal
masa itu sangat ganasnya, seseorang dari suku lain hanya dipandangnya dari banyaknya
tengkorak kepala yang dikoleksinya dari hasil mengayau (memotong kepala musuhnya). Bang Siang dan tujuh orang temannya secara
kebetulan singgah di puruk Dendem Entem dari perjalanannya menjual balanga (tempayan).
Dari
niatnya semula yang ingin berguru tentang balian, ketika terpandang wajah
Rentik malah jatuh cinta dan ingin menyuntingnya seperti pemuda-pemuda
sebelumnya. Kenekadannya menyebabkan hilangnya nyawanya sendiri dan enam orang
temannya yang lain.
Seorang
teman bang Siang yang berhasil meloloskan diri akhirnya sampai ke kampungnya.
Semua keluarga di lamin (rumah
panjang suku Dayak di daerah Kalimantan Timur) di kampung Danuparui itu menjadi
sedih, setelah mendengar cerita tentang masalah yang dihadapinya sampai
lolosnya dirinya. Bang Pak dan saudara-saudaranya bang Juk dan bang Irang
serta tetuha lainnya lalu bermusyawarah.
Dengan
amarah yang meluap bang Pak menarik kesimpulan dari musyawarah itu, katanya :
“Matinya adikku dan teman-temannya harus dibalas. Kita semua adalah keluarga
yang berpantang untuk membawa hutang piutang ke liang kubur. Bagi yang merasa
punya piutang dengan orang-orang di tepian sungai Teweh itu bergabunglah
denganku ! Keluarga yang lainnya jagalah
kampung kita”.
“Sebaiknya lelaki yang sudah uzur (lemah dan lanjut usia), kaum
wanita dan anak-anak saja yang tinggal”,
seorang tetuha menambahkan.
Bulat
mufakat dan tekad mereka, piutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Maka
segenap lelaki dewasa kampung Danuparui dan malah dibantu semua lelaki dari
lamin-lamin sepanjang gunung Meling sampai gunung Durung Ayuh. Di bawah
pimpinan bang Pak mereka yang banyaknya sekitar 500 orang itu mulailah bergerak
pergi menuju sungai Teweh.
Di puruk
Dendem Entem sendiri, Rentik sudah memperhitungkan datangnya pembalasan. Pepohonan
di lereng puruk ditebang dan dipotong sepanjang dua meteran dan dijadikan pagar
kayu bulat dengan singkang
(diameter) sejengkal serta dipasang tegak yang disebut kuta. Sekeliling punggung
puruk dibuat parit yang lebar mengelilingi betang.
Sedikit
perasaan cemas terbersit di hati Rentik, sebab mereka kekurangan tenaga untuk
bertempur. Desa-desa dan
keluarga-keluarga di sekitar Dendem Entem tidak dapat memberikan bantuan. Para pemudanya saat itu kebanyakan sedang
pergi ke perairan muara sungai Barito untuk menghadapi kawanan bajak laut manca
negara yang sedang merajalela.
Akhirnya
gerombolan bang Pak tibalah di kaki puruk, seorang utusan dikirim meminta
penyerahan tanpa syarat. Melihat banyaknya musuh semula Rentik ingin berdamai
saja, namun utusan itu sombong sekali sikapnya dan menyampaikan pesan
pimpinannya bahwa mereka tidak ingin berdamai.
“Kita terpaksa harus menghadapi mereka. Tempat ini tidak mungkin dapat dihancurkan
mereka. Kita akan mendapat bantuan dari nayu
(roh para leluhur) bila mereka sampai menjejakkan kaki di halaman betang
kita ini. Percayalah padaku !” kata
Rentik membesarkan hati anak buahnya.
Setelah
utusan berlalu mereka pun bersiap. Pintu kuta ditutup, disela-sela pagar kuta
berdiri para penyumpit dengan damek
(anak sumpitan) beracun. Terlihat mereka itu bergerak maju ke atas puruk,
tetapi tidak segera menyerang. Ternyata
mereka mempersiapkan haramaung nyaran, sebuah perisai besar dari baner (akar papan pohon besar yang tebal)
yang diberi beroda, para penyerang
berada di bawahnya. Haramaung nyaran itu
diperlengkapi dengan alat pelontar bagaikan katapel.
Batu-batu
sebesar buah kelapa beterbangan dan merubuhkan pagar kuta. Rentik dan anak buahnya mundur ke tepi parit
yang di dalamnya dipasangi suah
(bambu runcing), sambil dengan gencar tetap menghembuskan dameknya.
Para
penyerang menghadapi hujan damek itu dengan perisai sambil melindungi
teman-temannya yang mengangkat kayu-kayu pagar kuta yang rebah tadi untuk
menutup parit membuat jalan menyeberang. Orang-orang bertatto merah gerombolan
bang Pak ini memang ahli berperang ketimbang Rentik dan anak buahnya yang hanya
pandai menari dan melaksanakan upacara tradisional.
Akhirnya
anak buah Rentik mundur dan bertahan di bawah pelataran betang dan terus
menghembuskan dameknya. Selain itu
mereka membuat api unggun dengan maksud asapnya dijadikan sebagai tirai
berlindung. Asap membumbung tinggi menutup pemandangan, betang jadi terlindung
dibaliknya. Rentik naik, membakar kemenyan serta memerintahkan kaum wanita untuk
memukul garantung (gong).
Ketika
para penyerang anak buah bang Pak telah dapat menyeberangi parit dan anak buah
Rentik juga maju menyambangi dengan bersenjatakan tombak dari sumpitannya, tiba-tiba
terdengar suara riuh dari atas betang.
“Lulu lulu lulu hui !” Itulah suara lahap (sorak kegembiraan) anak buah Rentik.
“Kita pasti menang ! Kita pasti menang ! Dia datang !
Dia datang !” Teriak gembira berkumandang dari atas betang ke mana-mana.
Bersamaan dengan itu pula berhembus angin yang hawanya dingin dari puncak puruk
dan perlahan membuyarkan tirai asap yang dibuat anak buah Rentik. Dari seberang
parit bang Pak melihat bangunan betang di puruk Dendem Entem itu dengan mulut
ternganga.
Di atas
atap betang terlihat puluhan orang lelaki mengenakan sangkarut (pakaian kebesaran suku Dayak bentuknya seperti rompi
terbuat dari kulit kayu) berwarna merah sedang menari perang. Di tangan mereka
tergenggam mandau (senjata
tradisional suku Dayak berbentuk parang) yang terlihat semakin membara. Sedangkan di pelataran betang nampak Rentik
masih menaburkan beras berkunyit dengan mulutnya yang komat-kamit. Kaum wanita anak buahnya dengan gencar memalu
garantung dengan irama berbau kematian.
Bang Pak
yang banyak pengalamannya melihat semua itu menjadi ciut nyalinya. Ini sudah sangat
berbahaya, sebab Rentik ternyata benar-benar seorang balian wanita muda yang
piawai. Ia dapat dengan mudah memanggil nayu untuk membantunya. Bang Pak berseru memerintahkan anak buahnya
untuk segera mundur, jelas untuk
melawannya tidaklah mampu.
Para
penyerang itu berlarian mundur menyeberangi parit, namun warga puruk Dendem
Entem tidak mengejarnya dan membiarkan saja musuhnya itu pergi. Kemudian semuanya menghilang dalam kelebatan
rimba di kaki puruk di bawah sana.
Warga puruk Dendem Entem berkumpul, mereka
mengerumuni ketuanya Dayang Rentik,
balian wanita yang handal itu. Sebagian mereka masih heran, kemana perginya
nayu yang tadi terlihat di atas betang mereka itu. Sejak itulah di kalangan suku Dayak dikenal adanya
upacara memanggil arwah nenek moyang untuk meminta bantuan dalam menghadapi
serangan musuh.~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar